DEKAN FTIK DAN KAPRODI PBA SAMPAIKAN MATERI MODERASI BERAGAMA PADA GURU PAI DI KOTA SINGKAWANG

Pontianak (ftik.iainptk.ac.id) – Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak, Dr. H. Dwi Surya Atmaja, MA dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Dr. Moh. Yusuf Hidayat, S.Pd.I., M.Pd.I menjadi narasumber kegiatan Pembinaan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Moderasi Beragama tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang, Jumat (17/02) di Ruang Restoran Kampung Batu, Singkawang.
Salah satu narasumber, Dr. H. Dwi Surya Atmaja, MA mengungkapkan materi ini untuk merefresh dan menyegarkan ingatan para guru bahwa moderasi beragama bukan suatu yang baru, karena substansinya sama dengan toleransi.
“Kalau dalam sejarah Islam kita mengenal namanya fitnah kubro. Fitnah yang kemudian menghasilkan konflik antara Ali, Aisyah, Muawiyah pasca terbunuhnya Usman bin Affan, kemudian berujung pada berdirinya dinasti Bani Umayyah. Ketika mereka memegang cambuk kekuasaan, resistensi dan penolakan dari Syiah terhadap Bani Umaayyah luar biasa tinggi. Oleh karena itu Umar Bin Abdul Aziz berinisiatif untuk menjadikan khalifah keempat yakni Ali Bin Abi Thalib. Hal ini sebagai upaya mengendurkan ketegangan Sunni. Namun ketegangan tersebut tidak lantas menghilangankan ketegangan antara keduaanya (Sunni dan Syiah), konflik tersebut masih berkepanjangan sampai berdirinya Bani Abbasiyyah. Setelah Abbasiyyah jatuh, sampai saat ini pertentangan Sunni-Syiah masih berlanjut.
Lebih lanjut ia menuturkan, dalam sejarah pertentangan Kristen dan Katolik, perang 30 tahun di Jerman pada abad ke-17 bukan hal yang sebentar. Awalnya pertentangan tersebut bermula pada protes terhadap keabsolutan kekuasaan gereja termasuk di bidang Ilmu. Berhentinya peperangan di Jerman selama 30 tahun tidak berarti berhentinya konflik ataupun pertentangan yang terjadi disana.
Dalam kasus Indonesia misalnya, yang datang pertama kali ke Indonesia yakni Portugis dengan membawa agama Katolik, kemudian disusul Belanda yang membawa agama Protestan. Agama Katolik larinya ke arah Timur sampai ke Filiphina, agama Protestan larinya ke arah Barat, sedangkan Kalimantan dan Sumatera ada pencampuran antara Kristen dan katolik.
“Artinya konflik antar agama itu ada. Potensi konflik itu harus kita waspadai, agar keharmonisan yang telah dibingkai oleh NKRI dan hubungan antar agama di Indonesia bisa lebih terjaga. Namun kita juga harus sadar jangan sampai isu moderasi beragama ini dibawa ke teritori teologis, karena moderasi beragama itu bisa mengarah ke pluralisme. Sebab pluralisme itu daerahnya sosiologis. Karena dalam teologis kita tidak mungkin mengatakan semua agama sama, karena kalau itu terjadi maka semua orang bisa ganti-ganti agama. Nah bagaimana mungkin seorang beragama tanpa meyakini kebenaran agama sehingga moderasi beragama nanti berujung pada semua agama sama,” terangnya.
“Semua agama berbeda. Antara agama satu dengan agama lainnya berbeda. kita sadari perbedaan itu, tapi secara sosilogis kita harus moderat, tidak ekstrim, dan tidak radikal,” pungkasnya.
Sementara itu, narasumber lainnya, Dr. Moh. Yusuf Hidayat, S.Pd.I., M.Pd.I menjelaskan sebagaimana pada Modul Titik Temu Agama yang dijadikan sebagai bahan materi dalam kegiatan pembinaan ini yaitu hendak memberikan pemahaman kepada tokoh masyarakat dan pemuka agama bahwa Pancasila merupakan falsafah, dasar negara, dan idoelogi nasional yang merupakan cerminan dari nilai luhur semua agama. Karena itu, ia juga bisa disebut sebagai ideologi yang relijius. Pemberian pemahaman ini penting karena penolakan terhadap Pancasila dari sebagian kelompok didasarkan pada argumentasi agama. Bahwa agama tertentu dianggap punya tujuan lain dari tujuan yang ditetapkan Pancasila. Oleh mereka, Pancasila juga sering dituding sebagai ideologi sekuler.
Dengan modul ini, peserta akan mengatahui bahwa anggapan dan tudingan itu tidak benar. Dalam fase tertentu sejarah republik ini, memang sempat muncul polarisasi terkait relasi agama dan Pancasila. Polarisasi inilah yang seringkali dijadikan senjata para penolak Pancasila dan pengusung NKRI Bersyariah bahwa Pancasila yang diterapkan sekarang ini bukanlah Pancasila yang disepakati kelompok Islam waktu itu. Sehingga mereka merasa berhak untuk memperjuangkan apa yang mereka anggap dulu diperjuangkan kelompk Islam, yaitu Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhananan dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya.

Penulis: Septian Utut Sugiatno, M.Pd

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *