MENGAPA KELAS KITA KOTOR?

Dari satu kelas ke kelas yang pernah penulis masuki, terlihat kelas-kelas besar yang tidak teratur, kotor, dan terkesan kumuh. Fasilitas-fasilitas canggih yang terpasang, tampak tidak lagi sempurna, ada saja yang kurang. Entah alatnya yang tidak berfungsi maupun ada bagian yang hilang. Sehingga fasilitas yang ada sekedar menjadi pajangan. Fenomena ini dapat dijumpai baik di kampus, maupun kelas-kelas di sekolah. Sepertinya fenomena tersebut seolah menjadi suatu yang lumrah. Akhirnya, penulis sampai kepada pertanyaan di atas, “mengapa kelas kita kotor?”. Ini adalah pertanyaan kontemplatif, yang sebenarnya tidak hanya menyasar tentang persoalan kelas, akan tetapi menelisik ke dalam realitas besar dunia pendidikan kita hari ini.

Persoalan ini sepertinya remeh temeh, bukan agenda utama reformasi sistem pendidikan kita. Namun bagi penulis, persoalan yang dianggap remeh temeh ini sejatinya mencerminkan ada tumpukan persoalan di balik “dinding-dinding” lembaga pendidikan kita. Baik itu sekolah maupun perguruan tinggi. Hemat penulis, persoalan besar dunia pendidikan kita bukan pada mampu atau tidak dalam mendesign kurikulum. Dan bukan pula secanggih apa kita memodernisasi sarana prasarana pembelajaran. Akan tetapi persoalan besarnya adalah bagaimana membuat pendidikan kita menjadi “ruang hidup” (living space) yang meng-api-kan nilai-nilai kesadaran, tanggung jawab dan nilai-nilai humanis. Kurikulum tidak kita ragukan lagi, dari waktu ke waktu terus ada perbaikan. Namun persoalannya, ada situasi dan kondisi yang menjadi ganjalan dunia pendidikan mewujudkan cita-cita muliannya.

Diantara ganjalan tersebut adalah dominannya kuasa regulatif, ketimbang kuasa ilmu pengetahuan di dunia pendidikan kita. Ruang pendidikan kita sekarang tidak lebih “ruang mati” akibat dominasi aturan formal prosedural. Ciri dari regulasi sebagai kuasa determinan, dimana regulasi yang menjadi tangan-tangan besi yang “mencengkram” cara berpikir para pengelola lembaga pendidikan, termasuk para guru dan dosen. Lembaga pendidikan memejarakan penghuninya dengan kerangkeng regulasi, kebijakan top down dan sentralistik serta prosedur formal yang kaku dan njlimet.

Dalam kesemerautan fundamental tersebut, fenomena kelas kotor, kelas yang tidak terawat dan fasilitas yang hanya menjadi assesoris adalah sekedar contoh kecil dari persoalan serius pendidikan kita. Semua ini hanya puncak gunung es (top of iceberg) dari segudang persoalan mendasar dunia pendidikan.

Lembaga pendidikan harus dikendalikan oleh kuasa ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bukan kuasa regulasi. Para guru dan dosen harus didorong menjadi pengajar yang inovatif, kreatif dan kompetitif, bukan disibukkan dengan urusan adimistratif dan regulatif yang selalu berubah-ubah. Mereka harus didorong untuk berkarya, menemukan berbagai inovasi pembelajaran, bersaing untuk mencari model pembelajaran yang dapat meningkatkan iklim belajar yang mengembirakan, penduli dan hidup (caring and living learning).

Karena para peserta didik harus didekatkan dengan kenyataan hidup sehari-hari, memecahkan persoalan riel yang dihadapi, menemukan pengetahuan dari kehidupan nyata dan menumbuhkan rasa kepedulian terhadap lingkungannya. Harapannya dengan pendidikan yang engagement atau embedded tersebut, maka satu persatu persoalan dalam dunia pendidikan akan dapat diselesaikan.

Para pelajar kita (siswa dan mahasiswa) disempitkan semesta ruang belajarnya hanya pada konteks tekstual pelajaran, dan berbagai kewajiban yang dituntut secara formal seperti pekerjaan rumah, tugas tambahan, ulangan, semesteran, KHK dan KRS. Belum lagi harus menghadapi para guru atau dosen yang belagu (tidak punya ilmu tapi sok kuasa).

Mereka kehilangan kedaulatan berpikirnya, kehilangan kesempatan menikmati proses belajar dan juga kehilangan mengenal eksistensi diri dan lingkungannya. Semua yang dituntut dan diajarkan di sekolah dan kampus, seolah-olah teralienasi dari kehidupan nyata. Sehingga wajar apa yang dipelajari tidak mencerahkan, tidak mengugah kesadaran diri, tidak mampu mengembangkan dimensi etis dan moral, serta “gagal” mengembangkan rasa kepedulian lingkungan. Padahal para tokoh pendidikan senantiasa mengingatkan bahwa lembaga pendidikan adalah miniatur sebuah keluarga, miniatur dari masyarakat, dan miniatur sebuah bangsa, agar kelak mereka dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan nyata. Namun kesadaran tersebut ternyata dijauhkan oleh formalisasi pendidikan di bawah kendali kuasa regulasi.

Menurut pendapat penulis, dunia pendidikan harus diberikan otonomi seluas-luaskan untuk berkembang, berdasarkan potensi dan konteks sosial budaya dimana berada. Dunia pendidikan tidak perlu terlalu banyak aturan formal, yang selalu didalihkan atas nama mutu pendidikan. Para guru dan dosen disibukkan dengan berbagai keharusan ini dan itu, sehingga akhirnya lalai untuk mengembangkan kapasitas dirinya. Kalau sudah demikian, bagaimana kita berharap untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang berkualitas.

Karena sejatinya mutu tumbuh dari budaya dan etos, bukan dari aturan formal yang administratif. Apalagi hanya dari berkilo-kilo dokumen mutu, yang isinya terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Hemat penulis, hanya dari etos dan budaya keilmuan yang tinggi, akan tumbuh berbagai inovasi, termasuk sistem administratif yang lebih efektif, efisien dan instrumentalis. Dari etos dan budaya keilmuan yang unggul, akan melahirkan berbagai regulasi yang bersifat komplementer dan supporting terhadap pencapaian kuasa ilmu pengetahuan.

Gagasan merdeka sekolah, hanya mungkin dicapai ketika para pendidik memiliki budaya dan etos keilmuan yang tinggi. Mereka berdaulat dalam berpikir, penuh semangat dan kreatifitas untuk menemukan model pembelajaran yang kontekstual dan efektif, serta tidak dibuat pusing tujuh keliling oleh berbagai ketentuan adminitratif dan regulatif. Jika prasyarat ini tidak dipenuhi, maka jangan berharap banyak wajah pendidikan kita akan menjadi lebih baik. Nanti bukan hanya kelas yang kotor, lama-lama wajah dan kehormatan dunia pendidikanpun akan dibuat kotor dan tercemar. Wa Allah a’lam bi shawab.

*Direktur Rumah Moderasi IAIN Pontianak, Dan Wakil Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan Perguruan Tinggi Kahmi Wilayah Kalbar.

 

Oleh : Eka Hendry Ar.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *