FENOMENA ISLAMOFOBIA: NYATA ATAU ILUSI

Beberapa waktu lalu, PBB menetapkan tangal 15 Maret sebagai “Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia”. Resolusi ini sebagai reaksi terhadap masih tingginya pravalensi Tindakan diskriminasi terhadap umat Islam di berbagai belahan dunia. Islam masih sering dipojokkan sebagai “kambing hitam” (scape goat) atas berbagai tindakan terorisme di dunia. Sebagaimana kita tahu, persoalan islamofobia menguat pasca serangan teroris terhadap Menara Kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2001 Di Amerika Serikat. Setelah itu berderet peristiwa kekerasan (fisik dan non fisik) terhadap umat Islam, baik di Amerika maupun negara-negara Eropa. Atas dasar tersebut, dan desakan dunia Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) maka PBB mengeluarkan resolusi tersebut.

Namun demikian, kondisi antara kehendak memerangi islamofobia di satu sisi dan praktek islamofobia itu sendiri di sisi lainnya, seolah-olah berjalan sebelah menyebelah (dua sisi koin). Pada satu sisi upaya masif untuk mendekonstruksi Islamofobia, namun di sisi lain, praktek islamofia terus terjadi. Misalnya, baru-baru ini publik internasional dihebohkan dengan pembakaran mushab Al Quran di Swedia, yang dilakukan oleh seorang politis ekstremis sayap kanan Denmark yang bernama Rasmus Paludan. Peristiwa Rasmus ini merupakan rangkaian dari berbagai peristiwa serupa sebelumnya.

Aksi tersebut telah memantik aksi protes baik di Swedia sendiri, maupun dari dunia Islam. Terjadi gelombang protes yang berbuntut tindakan kekerasan. Beberapa negara Islam seperti Arab Saudi, Irak, Iran dan Turki menyampaikan protes terhadap tindakan tersebut. Protes juga datang dari pejabat dalam negeri, seperti Menteri Kehakiman Swedia (Morgan Johansson) yang menyebut tidakan Paludan sebagai bodoh, yang tujuannya hanya untuk mendorong kekerasan dan perpecahan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga mengecam aksi pembakaran Al Quran tersebut.

Mengapa fenomena ini terjadi terjadi berulang-ulang, dan mengapa tindakan diskriminatif terhadap Islam terus terjadi. Siapa Rasmus Paludan, dan seperti apa islamofobia menjalar di Barat. Swedia kita tahu adalah salah satu negara Nordik (Skandinavia) yang index kebahagiannya paling tinggi. Tingkat kepercayaan antara masyarakatnya tinggi, PDB-nya tinggi, keamanan finansialnya tinggi, masyarakatnya makmur dan kebebasan terjamin tetapi mengapa sentimen terhadap Islam tetap terjadi. Tulisan ini akan menguraikan tentang siapa Rasmus Paludan dan agenda politik yang diusung partainya, serta kaitannya dengan trend Islamofobia yang sekarang melanda dunia Barat.

 

SIAPA RASMUS PALUDAN DAN REGENERASI RASMUSIAN
Rasmus adalah Ketua Partai Sayap Kanan Stram Kurs (Garis Keras) Denmark yang merupakan gerakan politik xenophobis. Ia secara terang-terangan membenci Islam, membenci imigran dari negara-negara Islam hingga tindakan membakar al Quran. Ia bahkan mengancam akan membakar lebih banyak lagi Al Quran. Pribadi Rasmus memiliki catatan panjang kejahatan rasisme dan anti Islam. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 yang menyerang ummat Islam, 2019 ia bertindak rasis kepada masyarakat Afrika (kulit hitam). Di tahun yang sama ia membakar Al Quran yang dibungkus dengan daging babi. Kemudian pada tahun 2020 sempat divonis satu bulan penjara dan hukuman percobaan karena akun rasisme, pencemaran nama baik dan kekerasan jalanan. Namun sepertinya sanksi tersebut tidak membuat Rasmus jera.

Rupanya, Paludan melakukan ini karena Partai Stram Kurs beragendakan anti-imigran dan anti-Islam. Isu tersebut dimainkan oleh Paludan dalam rangka mendapatkan dukungan dari konstituen. Menginggat perolehan suara yang diperoleh partainya terus melorot. Sebagaimana dilaporkan oleh BBC News (Senin, 18 April 2022, https://www.bbc.com/news/world-europe-61134734) bahwa, pada pemilu 2019 Partai Stram Kurs hanya mendapatkan 1.8% suara, sehingga gagal mendapatkan kursi. Rencananya Pemilu September tahun ini, ia akan mencalonkan diri lagi. Sementara dukungan suaranya untuk maju belum signifikan. Sehingga boleh jadi, strategi yang dimainkan adalah isu populisme seperti yang berhasil mengantarkan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.

Di tengah masyarakat yang mulai mempersoalan persoalan imigran, dan pemahaman yang tidak mendalam terhadap Islam, isu populisme ini mendapatkan tempatnya. Meskipun tampaknya “jualan” yang dimainkan oleh Partai Stram Kurs tampaknya kurang efektif, mengingat publik barangkali belajar dari pengalaman Trumps, yang hanya melahirkan pemimpin demagog. Selain itu juga, publik Swedia sendiri banyak yang menentang propaganda Parta Rasmus, karena dianggap dapat memecah belah antar ummat beragama. Kritik datang dari para akademisi, yang mengkritik Rasmus kebablasan mengunakan hak kebebasanya.

Jørn Vestergaard adalah salah satu akademisi yang mengkritisi cara pandang Rasmus Paludan. Profesor Hukum Pidana di Universitas Kopenhagen ini mengatakan bahwa tak seorangpun punya hak bebas tanpa syarat untuk menghina kitab-kitab suci agama dan menyebarkan kebencian yang dapat menimbulkan gejolak dalam masyarakat. (https://www.republika.co.id) Kemudian, di Denmark sendiri ada kelompok yang selalu melawan kampanye intoleran Rasmus. Mereka adalah para pemusik jazz yang bernama Free Jazz Mod Paludan (FJMP) dari Kota Kopenhagen. Misinya melawan kampanye Rasmus Paludan, seperti tergambar dari kata Mod dalam bahasa Denmark bermakna melawan (against). Cara mereka memprotes adalah, dimana ada kampanye Rasmus, maka mereka akan menampilkan konser musik jazz di tempat tersebut, yang akhirnya membuat Rasmus tidak bisa bicara. Artinya, apa yang dilakukan oleh Rasmus dan pengikutnya, tidak mencerminkan sepenuhnya sikap mayoritas masyarakat Swedia dan Denmark terhadap agama Islam.

ISLAMOFOBIA BERLINDUNG DI BALIK KEBEBASAN

Ternyata aksi Rasmus dan pengikutnya mendapat pembenaran dari Perdana Menteri Swedia. Magdalena Andersson (PM Swedia) mengutuk tindakan protes yang dilakukan sehingga menimbulkan korban. Menurut Perdana Menteri Magdalena Andersson, di Swedia orang-orang diizinkan untuk mengekspresikan pendapat mereka, tidak peduli aksi tersebut sopan atau tidak sopan. Menurut Magdela apa yang dilakukan Rasmus adalah bagian demokrasi yang dianut Swedia, sehingga anda tidak bisa melakukan kekerasan.

Pernyataan Magdalena juga didukung oleh pihak kepolisian Swedia. Seperti dilaporkan oleh The Washington Post (Senin,17-April-2022, https://www.washingtonpost.com/world/2022/04/17) bahwa, polisi menggatakan bahwa, tujuan mereka adalah melindungi kebebasan ekspresi dan berkumpul sebagaimana diatur oleh konstitusi. Dalil konstitusi ini yang kadang membuat pemerintah Swedia tidak bisa menindak secara hukum tindakan seperti yang dilakukan Rasmus. Morgan Johansson memahami persoalan ini, menurutnya inilah resiko kita menganut demokrasi, termasuk membiarkan orang-orang bodoh untuk bebas bicara (Sweden is a democracy, and in a democracy, fools also have freedom of speech).

Pernyataan Magdalena dan pengakuan Morgan Johansson mencerminkan pandangan demokrasi liberal yang dianut di Swedia, serta konsekwensi dari kebebasan konstitusional tersebut. Tentu kita tidak bisa menyalahkan hal tersebut, karena sistem kita berbeda dengan mereka. Namun yang penting bagi kita adalah memahami mengapa agenda Islamofobia senantiasa tumbuh dalam alam kebebasan demokrasi di Barat.

Untuk dapat menganalisa persoalan ini kita perlu melihat konstelasi politik yang terjadi di negara-negara Barat (Eropa dan Amerika). Memainkan isu islamofobia memang terbukti memberikan dampak elektoral bagi partai politik. Seperti pengalaman Donald Trump yang memenangkan Pemilu AS 2016. Partai Front National pimpinan Marine Le Pen di Prancis, terbukti memenangkan hampir 30 % suara pada pemilu daerah di Prancis. (lih. Karen Armstrong, Jhon Esposito et.al. dalam, Islamofobia: Melacak Akar Ketakutan Terhadap Islam di Dunia Barat, 2018:85) Esposito menyatakan bahwa, memang akhir-akhir ini Islamofobia meningkat di Eropa dan Amerika.

Sikap anti Islam itu bahkan ditampakkan secara eksplisit. Peran media masa juga sangat signifikan dalam membangun citra negatif dunia Islam. Seperti contoh, laporan pusat dari Fear.Inc pada agustus 2011 melaporkan bahwa berdasarkan informasi dari Badan Pengawas Penghasilan (IRS) ada 42,6 juta dolar AS mengalir ke 7 yayasan (dalam kurun waktu 10 tahun) untuk mendukung penulis dan situs internet islamophobia. Laporan CAIR (2013) melaporkan bahwa bagian inti dari jaringan islamofobia yang berbasis di AS menikmati setidaknya 119.662.719 dolar AS sebagai total pendapatan antara 2008-2011. Data-data tersebut di atas baru sekelumit dari kemungkinan lebih besar keuntungan yang dikeruk dengan “memperdagangkan” rasa takut akan Islam.

Apa yang diungkap oleh Esposito, mendapatkan pembenaran dari Nathan Lean dalam bukunya Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims. Menurut Lean bahwa, ketakutan dan prasangka terhadap Islam ternyata adalah komoditas atau dagangan yang senantiasa punya pasarnya (marketable) sendiri. Laku menjadi konsumsi publik, dan efektif membangun sentimen rasisme. Momentum pendirian Masjid Besar pada Mei 2010 di atas bekas reruntuhan WTC, dijadikan trigger memunculkan kembali “mimpi buruk” peristiwa 11 September 2001 dan sekaligus momentum kampanye anti Islam. Industri Islamofobia menjadikan berita itu sebagai iklan publik utama bahwa, “Islam telah menyerang kita, tepat di pusat peradaban kita”.

Selama 3 bulan Fox News terus menerus mempropaganda berita tersebut, baik melalui media televisi maupun media cetak dan on line. Ternyata di balik derasnya pemberitaan tersebut Fox News meraup keuntungan 2 juta dollar AS. Ini memperlihatkan bahwa Islamfobia bukan lahir dari sentimen dan dendam atas peristiwa kelam di masa lalu semata, akan tetapi yang terjadi sesungguhnya adalah proses kapitalisasi sentimen oleh media dan elit partai politik untuk mengeruk keuntungan.

Rasmus Paludan hanyalah satu contoh dari Rasmus-Rasmus lain yang dapat muncul dengan identitas yang berbeda, namun mereka tetap mengusung semangat kebencian terhadap Islam. Kebencian yang sebenarnya terjadi karena kepentingan sekuler dan pragmatis, dengan mengibarkan sentimen agama sebagai kendaraan. Praktek islamofobia bahkan sengaja dipelihara agar dapat dijadikan komoditas untuk berbagai kepentingan, seperti mendulang perolehan suara dalam proses politik atau untuk menumpuk keuntungan ekonomi. Oleh karena, fenomena seperti Rasmus Paludan akan terus muncul, sepanjang isu populisme efektif untuk kepentingan ekonomi dan politik. Ia akan berjalan samping menyamping dengan berbagai upaya membangun dialog peradaban antara Islam dan Barat yang akhir-akhi ini juga intensif dilakukan.

ISLAMOFOBIA, NYATA ATAU ILUSI BAGI INDONESIA

Apakah praktek Islamofobia juga terjadi di Indonesia. Pertanyaan ini setidaknya telah dijawab oleh Mahfud MD, melalui artikel yang dimuat diharian Kompas dengan judul Islamofobia Vs Radikalisme dan Spiritual tanggal 22 Agustus 2022. Ringkasnya, Mahfud mengklaim bahwa, pemerintah di bawah Joko Widodo sudah sangat akomodatif terhadap umat Islam. Mahfud bahkan menantang, untuk menunjukkan dimana dan ada kebijakan negara yang dapat dikategorikan islamofobia. Memang untuk membuktikan ada atau tidaknya praktek islamofobia di Indonesia cukup sulit, karena tidak ada praktek yang secara eksplisit dapat mengkonfirmasi kebenarannya. Sehingga, wajar Mahfud bisa mendalihkan bahwa, pemerintah tidak islamofobia. Dan jikapun ada kebijakan yang kurang nyaman terhadap sekelompok umat Islam, bukan sebagai bentuk islamofobia, akan tetapi sebagai respon terhadap radikalisme, bukan kepada umat Islam secara keseluruhan.

Terus terang sulit bagi penulis untuk mendapatkan bukti adanya praktek islamofobia di Indonesia, karena sejatinya sikap islamofobia jikapun ada, akan lebih tersembunyi, berbeda dengan di Barat. Dimana media atau orang perorangan secara terbuka mengumbar sikap anti Islamnya. Namun di Indonesia tidak mudah terjadi secara terbuka. Adapun, fenomena pendeta Sjaifudin Ibrahim yang secara vulgar menistakan Islam, namun dilakukan dari luar negeri. Tidak bisa dianggap merepresentasikan Islamofobia di Indonesia.

Atau barangkali peristiwa terjadi baru-baru ini, yang sempat menjadi trending topic, dimana Rubrik Politik dan Hukum Kompas, 8 september 2022 menaikkan berita tentang “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa”. Berita ini sebenarnya biasa, namun menjadi luar biasa dan kontroversial karena memuat photo Anis Baswedan yang sedang diperiksa sebagai saksi di KPK. Responpun beragam, ada yang kemudian berkesimpulan bahwa, hal tersebut membuktikan Kompas mempraktekkan Islamofobia. Karena sebagaimana diketahui bersama, Anis adalah salah satu yang digadang-gadang menjadi calon Presiden. Anis juga oleh sebagian kalangan dianggap mewakili kelompok Muslim atau bagi mereka yang tidak menyukainya dengan sarkastik disebut mewakili kadrun. Pertanyaannya, apakah anggapan ini benar atau keliru, kita belum bisa mengkonfirmasi. Hipotesisnya masih terbuka antara iya atau tidak.

Penulis perlu menegaskan bahwa, kita masih perlu lebih banyak bukti untuk berkesimpulan bahwa Islamofobia nyata di Indonesia. Namun untuk mengatakan ia sebuah ilusi juga terlalu dini. Oleh karenanya kita tetap harus membangun hermeneutic of suspicious (cadangan kecurigaan) bahwa sel-sel Islamofobia bisa saja telah tumbuh secara diam-diam dalam birokrasi pemerintahan, elit politik, kalangan oligarki atau masyarakat pada umumnya. Atau kita berharap sel-sel tersebut adalah sel mati, yang tidak lagi produktif menciptakan kanker ketakutan dan kebencian terhadap Islam.

Mengapa cadangan kecurigaan ini perlu dihidupkan, agar manakala terdeteksi adanya sinyal islamofobia, maka akan segera dapat diatasi agar ia tidak berkembang sebagai parasit bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Sekarang adalah era kita membangun jembatan, bukan tembok. Jembatan yang meyambung dan menghubungkan antara anak bangsa. Jembatan yang bisa mempertemukan pandangan yang berbeda dan menyambung cita-cita berbangsa. Jembatan yang membuka jalan dialog antara sesama anak bangsa dalam rangka mengikis prasangka, stigma negatif, ketakutan dan kebencian. Termasuk ketakutan dan kebencian terhadap Islam, karena yakinlah Islam telah dan terus berkontribusi besar bagi bangsa ini, baik di masa lalu, masa kini dan masa depan. Musuh bersama kita adalah kebodohan, kepicikan, arogansi dan sikap eksklusifisme.

*Direktur Rumah Moderasi IAIN Pontianak/Kabid Keilmuan, Riset dan PT Kahmi Wilayah Kalbar.

 

Oleh: Eka Hendry Ar*.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *