KEJAHATAN KUASA DAN KONSTRUKSI KEBOHONGAN

Tulisan ini berangkat dari kehebohan kasus penembakan terhadap almarhum Joshua, oleh Sambo dan anak buahnya.  Heboh, karena menjadi perbincangan seantero dalam dan luar negeri. Semua kalangan menjadikannya buah bibir, baik di kantor, di komplek, di tempat ibadah dan warung kopi.

Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya sudah lebih sebulan berita menghiasa berbagai ruang media, mulai tv hingga media sosial. Publik mengkonstruk berbagai spekulasi mulai dari fakta, hoaks hingga berbagai teori konspirasi. Kondisi ini yang kemudian memaksa penulis untuk selalu melakukan cross check jika mendapat kabar yang terkesan spektakuler, agar tidak menjadi korban hoaks dan franks.

Terlepas dari fenomena hukum kasus tersebut yang hingga hari ini masih terus bergulir. Mereka yang diperiksa terus bertambah, dan yang tersangka juga potensial bertambah.  Tulisan ini ingin menyoroti persoalan tersebut dalam tema kuasa dan kejahatan (power and crime) tinjauan sosiologis.

Dalam kacamata sosial, bahwa tindak kejahatan terjadi tidak pandang kelas sosial aktornya, entah itu tingkat pengetahuan dan pendidikan, jabatan dan kedudukan sosialnya. Kemudian juga bisa terjadi baik pada masyarakat biasa atau kelompok elit.  Kepentingan (atau motif) kejahatan beragam, tergantung pada kedudukan, kelas sosial, akses kuasa dan lingkungannya.  Kejahatan tidak selalu muncul secara intrinsik, namun juga timbul sebagai dampak faktor di luar dirinya (estrinsik).  Atau hasil kombinasi dari keduanya (faktor intrinsik dan ekstrinsik). Makanya tidak jarang motif dan kepentingan memiliki beberapa lapisan (baik yang praktis maupun yang fundamental) dalam sebuah tindakan kejahatan.

Kejahatan tidak identik dengan kemiskinan dan kondisi underdog (keterpurukan). Masyarakat marginal tidak selalu melahirkan berbagai patologi sosial. Jikapun ada  pravalensi patologi sosialnya, maka relatif bentuknya lebih homogen, seperti pencurian, narkoba dan sex bebas. Implikasinya tidak bersifat masif dan struktural. Beda halnya dengam kejahatan yang terjadi dalam pusaran kuasa, dimana implikasinya bisa sangat hebat (masif dan terstruktur).

Dengan kata lain bahwa, kondisi serba kekurangan bukan satu-satunya tempat tumbuh berbagai benih penyakit sosial dan tindak kriminalitas. Kejahatan dapat terjadi lebih dahsyat dimana tersedia resource yang besar, baik kedudukan, wewenang, pengaruh, politik dan uang.

Fenomena maraknya praktek korupsi, patron terhadap narkoba, pejudian dan prostitusi melibatkan oknum yang “kuat”, sehingga praktek illegal tersebut terus berlangsung. Kuat yang dimaksudkan dalam artian, memiliki akses terhadap kekuasaan dan resource yang ada, sehingga bisa “mengendalikan” kejahatan tersebut. Pada dasarnya kejahatan seperti ini (white color crimes) selalu terjadi di pusaran resource yang berlimpah, bukan di daerah kumuh dan terpinggirkan.

Kejahatannya saling diketahui oleh elit, namun juga sebagai “senjata” untuk saling mengunci (memegang rahasia). Sewaktu-waktu “senjata” ini bisa digunakan untuk melumpuhkan lawan.  Dalam bahasa awam, pembasmian kejahatan tergantung terganggu atau tidak kepentingan, bukan tergantung pada kewajiban menegakkan undang-undang.

Kasus Sambo menunjukkan kepada kita bahwa kejahatan terjadi di “pusat” akses kekuasaan akan hukum, legalitas dan jaringan komando yang solid.  Satu peristiwa pidana biasa, namun menyeret-nyeret lebih 80 orang koleganya. Tidak main-main, ada yang jenderal hingga pangkat terendah. Peristiwa ini menjadi.semakin menarik perhatian karena berhembus kemudian isu tentang bekingan terhadap judi on line, narkoba dan prostitusi.

Peristiwa kejahatan kuasa (power crime) terjadi di tengah- tengah pusaran berbagai resource, baik uang, kekuasaan dan politik.  Oleh karenanya dampak kerusakan bisa lebih dahsyat dibandingkan kejahatan dari kalangan yang terpuruk secara ekonomi (underdog).  Kedahsyatan tersebut dapat terjadi dengan melemahkan proses supremasi hukum di tengah-tengah bangsa yang panglimanya adalah hukum (Law).  Wibawa negara dan pemerintah dapat jatuh di hadapan “kartel kejahatan”.

Salah satu bentuk melemahkan hukum adalah dengan menciptakan “kebohongan demi kobohongan”, seperti merekayasa peristiwa, mengkambing hitamkan yang lemah dan menghambat proses hukum (obstraction of jusrice) untuk menutupi kejahatan yang lebih besar.  Kekuasaan yang dimiliki menjadi “kuasa kebohongan” untuk menciptakan kebenaran palsu (pseudo truth) yang akan di benamkan kedalam penerimaan logika publik.  Oleh karenanya, berbagai rekayasa di lakukan, dan untuk mewujudkan niat dan perbuatan tersebut dibutuhkan jaringan kerja yang solid.  Lagi-lagi di sini kekuasaan dapat menjadi instrumen untuk mengkapitalisasi kedudukan menjadi kuasa pengaruh dan memobilisasi jaringan kerja dan dukungan.

Dengan kuasa yang masif, publik mudah diyakinkan, opini gambang digiring dan stigma negatif mudah dilabelkan kepada yang lemah (sub ordinasi).  Dengan demikian kejahatan bisa terjadi berulang-ulang tanpa terjamah hukum, meskipun di kepala publik mengangga tanda tanya besar dan di dada mengunung rasa ketidak adilan.

Kuasa akhirnya memberanakkan jiwa banalitas, dimana kejahatan dianggap suatu yang biasa, dan bahkan dipandang sekedar sebuah “kewajiban tugas”.  Dalam kondisi seperti tersebut, kebohongan dan rekayasa dinilai biasa,  harga nyawa manusia dianggap murah dan demikian juga  harga kebenaran menjadi tiada ada artinya.

Dari awal penulis sudah katakan bahwa  kejahatan yang dilakukan dalam modal kuasa yang besar akan lebih besar daya rusaknya terhadap kehidupan sosial, penegakan hukum dan kehidupan berbangsa.  Fenomena Sambo hanya satu contoh saja dari gunung es (iceberg) berbagai  kejahatan yang lahir dari rahim kuasa (position and power).

Kejahatan “kuasa” ini sulit dibongkar dan terjamah hukum. Beda halnya dengan kriminalitas yang lahir dari prakondisi kemiskinan (underdig) relatif lebih mudah diberantas.  Namun, kejahatan “kuasa” sebaliknya, sangat sulit untuk diberantas. Baik karena akses kuasa yang besar, dan karena diuntungkan peran aktor yang ada dalam 2 atau lebih posisi yang paradok.

Namun demikian, kita tidak boleh apatis, karena tidak ada kejahatan yang sempurna dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri untuk terungkap.  JIka “tangan-tangan” hukum tidak dapat membongkarnya, maka yakinlah “tangan Tuhan” yang akan membuka semua tabir makar tersebut dengan terang benderang.
Kasus Sambo adalah bukti nyata, dimana tidak ada kejahatan yang sempurna, meskipun kuasa yang dimiliki berhasil mengkonsolidasi jaringan kerja yang kokoh dan solid. Semula berhasil mengkonstruksi kebohongan peristiwa dan motif. Namun tetap saja, akhirnya Kebenaran berusaha menemukan celah-celah diantara tembok arogansi kuasa, untuk menemukan jalan keluarnya sendiri.  Kesadaran ini harus menjadi perhatian semua pemangku kedudukan dan jabatan, bahwa jangan main-main dengan kuasa yang digenggam. Ia tidak selalu menjadi berkah, tapi bisa juga menjadi bara kutukan.

(Dlrektur Rumah Moderasi IAIN Pontianak, dan Kabid Keilmuan, Riset dan PT KAHMI Wilayah Kalbar)

 

Oleh: Eka Hendry Ar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *