HARTA KARUN PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan risalah kesemestaan, dan risalah ketuhanan.  Dalam sudut pandang Islam, Tuhan menyebutkan dirinya Rabbul ‘alamin yang dimaknai pendidik alam semesta.  Tuhan mendidik alam semesta dengan menciptakan semua makhluk plus manual cara kerja yang diatur dalam hukum tetap yang disebut sunnatullah.  Dengan kata lain, Tuhan menyatakan kuasa-Nya atas segala ciptaan (secara transcendental), juga menyertai, mengawasi dan mengayomi (secara imanen) segala makhluk, termasuk manusia.  Meskipun tidak secara langsung, melalui berbagai instrument dan tanda (ayat) yang Ia hamparkan, baik di semesta raya (macro cosmos) maupun dalam diri manusia (micro cosmos).

Karena Tuhan memerankan fungsi mendidik, maka semestinya juga manusia memerankan hal yang sama dalam konteks kehidupannya. Oleh karenanya, Pendidikan menjadi misi penting manusia, yang tidak bisa dianggap sederhana.  Pendidikan merupakan misi profetik yang harus secara sadar dan bertanggung jawab di perankan oleh manusia.   Dalam kenyataannya, apakah idealitas tersebut sudah terejawantahkan.  Berikut pertanyaan penting yang harus dijawab yaitu bagaimana wajah pendidikan kita hari ini, apakah masih sejalan dengan misi profetik tersebut, atau sebaliknya. Pertanyaan berikutnya, apakah dunia pendidikan mampu mendekat kepada pusat kesadaran (illahiah), atau malah sebaliknya bergerak menjauh dari pusat kesadaran (kesadaran Illahiah).

Tulisan ini ingin menghadirkan kembali kesadaran yang paling dalam dari pendidikan, yang menurut penulis adalah “harta karun” paling berharga di perut bumi pendidikan.  Pendidikan tidak bisa direduksi sebatas institusi Pendidikan seperti sekolah, madrasah maupun Perguruan Tinggi.  Tidak juga hanya dibatasi oleh regulasi seputar system, model dan kurikulum. Atau tidak semata strategi dan metode pembelajaran di ruang kelas.  Pendidikan mengatasi semua hal itu.   Apa yang dikemukakan di atas,  hanya sub sistem (atau instrument) pendidikan.

Pada prinsipnya pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, mulai dari peristiwa penciptaan, proses berada dan tujuan akhir dari kehidupan itu sendiri.  Pendidikan adalah proses kita lahir, proses kita tumbuh dan berkembang dari bayi hingga mati, proses kita mencari, proses kita menjalani hidup hingga proses kematian yang akan kita jalani.  Buah dari pikiran tersebut, tentu akan menyadarkan kita, bahwa sejatinya hidup ini adalah ruang pendidikan.  Hidup adalah madrasah yang nyata. Hidup adalah kurikulum yang nyata. Hidup adalah ruang evaluasi. Hidup adalah proses menjadi yang terus menerus. Oleh karenanya, dengan mengartikan pendidikan sebatas instrumental, malah akan mendistorsi universalitas pendidikan itu sendiri.

Konsekwensi dari cara pandang tersebut, tercermin dari proses keabadian pendidikan. Kata abadi yang dimaksudkan dalam konteks dimensi waktu, sepanjang waktu masih ada. Sepanjang waktu belum dimusnahkan Tuhan.  Keabadian pendidikan berarti bahwa, selama manusia hidup di muka bumi, maka selama itu pula mereka menjalankan masa pendidikannya.  Dengan demikian, maka ruang belajarnya juga ada dalam rentang dimensi ruang dan waktu yang dilalui.  Manusia belajar dari dirinya, dari kehidupan di sekitarnya, dari pasang surut kehidupan umat manusia. Dari burung yang terbang, dari ikan yang berenang, hingga alam semesta yang terhampar luas.  Manusia berguru kepada alam, kepada musibah, kepada konflik, kepada perang dan kepada perdamaian.  Darinya manusia memahami betapa penting arti kehidupan, arti kedamaian, arti kemanusiaan. Demikian manusia terus belajar tanpa henti, bahkan boleh dikata bahwa, manusia hidup dalam pendidikan itu sendiri (embedded).

Jadi pada prinsipnya, manusia tidak membutuhkan sekolah yang dibatasi oleh dinding persegi empat, dek yang menjadi langit-langit, dan angin sepoi sepoi masuk dari balik jendela dan ventilasi yang berdebu.  Sudah dapat dipastikan jarak pandang terhadap cakrawala terbatas, jarak pandang terhadap kehidupan nyata berkurang, dan penglihatan terhadap keragaman tanda akan menyempit.  Dinding-dinding kelas terkadang tidak mampu merangsang pikiran dan imajinasi para pelajar untuk memikirkan dunia yang luas di balik dinding.  Photo presiden, wakil presiden, dan burung garuda, tidak mampu membangkitkan imajinasi anak-anak tentang arti penting kehidupan berbangsa.

Wajarlah kemudian dunia pendidikan hanya mencetak para lulusan yang hanya mengenal kehidupan sebatas “gelembung pengatahuan” yang “miskin”, kering, sempit dan statis.  Pendidikan tidak mampu mengembangkan imajinasi, pikiran dan lompatan gagasan, kecuali hanya pengetahuan yang dibungkus dalam teori dan buku paket.  Pengetahuan teralienasi dari kenyataan kehidupan itu sendiri.

Lontaran pikiran di atas barangkali akan dianggap pikiran yang naif, tidak realistik dan nyaris seperti utopia.  Karena selain terlalu filosofis dan juga terlalu ideal, serta tidak membumi.   Karena sama saja mengembalikan manusia kepada kehidupan purbanya, hidup secara naturalistik bersama flora dan fauna di alam bebas.  Bagi penulis, silakan saja ada yang berpandangan demikian, karena hal itu wajar dan make sense.  Namun penulis sejatinya ingin mengajak kita semua untuk kembali berkontemplasi, melesatkan imajinasinya ke petala langit dan bumi, agar kita mendapatkan perasan inti sari dari hakekat kehidupan.

Inti sari pendidikan adalah harta karun yang paling berharga, namun terkubur di dalam perut bumi pragmatisme pendidikan.  Ia laksana permata, tapi tidak berguna.  Dibincangkan sebatas wacana, namun tetap tealienasi dari kehidupan nyata.   Oleh karenanya, inilah saat yang tepat kita menggali kembali “harta karun” tersebut, menghidupkan kemilau cahaya keindahananya, agar dapat meninggikan kemuliaan peradaban kita.

Harta karun pertama adalah kesadaran paling asasi tentang keberadaan Tuhan, dan keterlibatan Tuhan dalam mendidik alam semesta.  Konsekwensi dari kesadaran ini adalah setiap proses penciptaan, dan eksistensi manusia makluk adalah pendidikan.  Oleh karenanya pendidikan adalah proses semesta, proses interaksi antara Khalik (Pencipta) dan makhluk.  Pendidikan merupakan proses yang abadi, terus menerus tanpa henti.  Pendidikan yang kehilangan kesadaran tersebut, akan mengalami “kemarau” kebermaknaan dan kegamangan haluan.

Kedua, harta karun kedua adalah kesadaran bahwa kehidupan adalah ruang pendidikan pertama dan utama.  Begitu manusia terlahir kedua, maka dimulailah kegiatan pendidikan.  Alam mengajarkan manusia tentang kehangatan, kedinginan, rasa dahaga dan lapar. Perlahan manusia tumbuh besar, dan belajar banyak hal dari interaksinya dengan lingkungannya. Manusia mengenal rasa manis, rasa kecut, rasa asin dan pedas dari makanan yang ia makan.  Manusia mulai mengenal suatu yang salah, suatu yang benar, ia mulai tahu arti pujian, arti marah, rasa malu dan rasa bersalah.  Aspek-aspek ini adalah pengetahuan penting yang akan terus menerus manusia pelajari dari kehidupannya.  Sementara dengan sekolah mereka malah  mempelajari sesuatu yang jauh dari kehidupan mereka sendiri.  Maka wajar jika kemudian, semakin tinggi nilai yang peroleh, tidak berarti apa-apa bagi kehidupan dirinya.

Ketiga, harta karun berikutnya adalah pentingnya belajar tentang kehidupan nyata yang kita hadapi.  Kehidupan adalah kurikulum penting yang mengajarkan tentang keperluan dan keharusan yang diperlukan kita dalam kehidupan. Hidup kita butuh teman, butuh bimbingan dan cahaya penerang benar dan salah, butuh tuntunan akal budi, butuh makan dan minum serta butuh aktualisasi diri. Dari kurikulum kehidupan kita telah belajar tentang arti persahabatan, arti kesetiaan, arti penghianatan, arti kebodohan, arti usaha dan kerja keras dan termasuk arti tentang perjuangan dan pengabdian (termasuk pengorbanan).  Sementara sekolah-sekolah kita tidak lagi mampu mengajarkan tentang arti persahabatan, kesetiaan, penghianatan dan pengorbanan.

Itulah harta karun yang selama ini terkubur di perut bumi pendidikan kita, yang menjadikan lembaga pendidikan mengalami kegersangan dan terombang ambing antara kehendak dan ambisi para pengambil kebijakannya.  Cara terbaik keluar dari labirin persoalan tersebut, sudah saatnya kita menggali kembali harta karun yang tersembunyi tersebut, Kemudian menghidupkan jiwanya lagi di dalam jiwa ruang pendidikan formal kita, agar ia menjadi ruh yang mengerakkan dan mendinamisasikan lembaga pendidikan. Harta karun tersebut adalah elan vital, spirit dan sekaligus mesin besar pengerak lembaga pendidikan ke luar dari periode “kekeringan” menuju periode pencerahan dan kegemilangan.  Wa Allah a’lam bi shawab

 

*Dosen IAIN Pontianak

 

Oleh : Eka Hendry Ar*.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *