Homo Homini Lupus

Dalam esai saya sebelumnya yang dimuat di web ini, saya mengasumsikan kekerasan sebagai sesuatu hal yang sulit dipisahkan dari sejarah umat manusia. Bahkan, kekerasan dalam berbagai bentuknya ini telah ditampilkan oleh anak keturunan Adam dan Hawa, yang berujung tewasnya Habil di tangan Qabil (lihat QS 05: 30). Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam sejarah kita; umat manusia. Kemudian, kekerasan terus berlangsung, bahkan seperti terwariskan hingga sekarang sebagai habitus, yang mana kekerasan dianggap sebagai modal simbolik, dan menjadi penekan atas pengakuan kedaulatan seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Konsekuensinya, kekerasan begitu mewarnai ekspresi peradaban kita. Homo Homini Lupus, demikian kata Thomas Hobbes dalam Leviathan.

Terkadang, hati nurani kita sulit menerima, bagaimana kekerasan, amarah dan penganiayaan yang semakin hari semakin nampak dalam keseharian kita. Padahal jika ditanyai pendapatnya, maka semua kompak sependapat bahwa kekerasan sungguh amat menganggu ketenteraman hidup kita. Bagi sebuah bangsa yang tengah membangun, seperti negara kita, jelas kekerasan yang marak akan mengakibatkan kerugian yang banyak.

Sebuah keheranan

Tentu saja, tidak saya saja yang heran. Anda juga heran. Sementara keheranan adalah perasaan yang muncul saat seorang menghadapi yang tidak lazim. Tak terkira apa yang akan terjadi pada sebuah bangsa, yang mana kekerasan sebagai sesuatu yang lazim, seperti yang terjadi di negara kita. Tidak ada lagi keheranan, apalagi simpati atau empati pada korban kekerasan. Bahkan seorang korban kekerasan, di negara ini bisa saja tidak mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Seperti keheranan saya yang awam soal hukum, menilai tuntutan pelaku penyerang terhadap Novel Baswedan yang ringan. Ini kesan subjektif saya.

Jika kasus kekerasan semacam ini saja tidak dianggap sebagai kasus yang berat di mata hukum, mungkin kasus kekerasan lain yang lebih ringan kedepannya bisa jadi akan tidak pernah dipersoalkan. Bukan tidak mungkin, kekerasan yang terus-menerus terjadi di tengah-tengah kita, pada akhirnya menjadi semacam “candu”, dinikmati dan menjadi kebutuhan, sampai-sampai kita lupa.

Mengapa Terjadi?

Dalam esai sebelumnya, saya mengulas akar kekerasan dari perspektif psikoanalisa Freud yang merupakan ranah kajian psikologi. Pada kajian inipun demikian, kajian psikologi sosial kentara dalam tulisan saya ini.

Seperti bisa kita mafhumi, kekerasan selalu dimulai dengan kemarahan. Amarah dimulai dengan cara kita “menstereotipisasikan”; membuat kategori-kategori. Sementara “membuat kategori-kategori” sama berarti memetakan lawan saingan. Amarah membangkitkan kebencian, pengrusakan dan aniaya. Aniaya diartikan sebagai perbuatan bengis (pemukulan, penyiksaan, penusukan, penembakan, pemerkosaan, dan  sebagainya), yang menyebabkan penderitaan dan menyakiti orang lain.

Keadaan bangsa kita sekarang pada ranah ini, mungkin sama gilanya dengan masa di mana manusia mengalami masa primitifnya. Tidakkah, kekerasan identik dengan kondisi berpikir primitif? Orang-orang yang primitif akan berpikir kekerasan – untuk sementara bagi mereka – identik dengan “penyelesaian”. Dampaknya, kekerasan terus diulang dan memakan korban, yang mana kekerasan tidak hanya sebagai “konflik” tapi menjadi satu solusi untuk menyelesaikan masalah.

Mari merefleksi, tidakkah  demonstrasi-demonstrasi penolakan masih saja dengan simbol-simbol pembakaran?. Membubarkan demonstrasipun dilakukan oleh oknum aparat dengan kekerasan, sehingga jatuhlah korban-korban. Penggusuran dengan pembuldoseran. Bentuk-bentuk kekerasan dalam keluarga, sekolah dan di perguruan tinggi, dan sebagainya.

Singkat kata, kebenaran di tengah-tengah kita selalu dicapai dengan kekerasan. Sehingga, hampir tidak ada keheranan lagi akan kekerasan, karena kekerasan menjadi tontonan sehari-hari. Tiap hari berita yang kita konsumsi di media massa adalah berita-berita tentang kekerasan dan ketersinggungan. Pada gilirannya ini mempengaruhi alam bawah sadar kita; begitu mencandu kita. Ketersinggungan dibawa ke pengadilan agar cepat diketahui siapa yang kalah dan siapa yang menang. Perbedaan dibesar-besarkan lewat berita hoax, gosip, dan selebaran gelap. Media baru ikut-ikutan menyulutnya.

Konrad Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan, dari faktor psikologi di luar kendali manusia sebagai konsekuensi dari kondisi sosial, politik dan ekonomi. Seperti bara dalam sekam, energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Hasrat melakukan kekerasan, sudah ada dan terpasang pada diri tiap kita sebagai manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecilpun, atau tanpa adanya stimulan, hasrat melakukan kekerasan tetap akan mencari pelampiasan.

Sebuah asumsi lain yang juga penting yakni akar-akar kekerasan terletak pada kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas. Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan yang ikut menjadi korban kekejian Nazi Jerman, dalam bukunya The Human Condition, mengatakan, daya dan kekuatan manusia untuk menemukan rasa kepastian diri dan identitas hakikatnya tercitrakan dalam pengalaman kekerasan.

Jika kekerasan adalah tindakan penegasan diri kata Arendt, hemat saya, kita tidak boleh mengabaikan sebuah asumsi lain yang juga penting: “kekaburan diri manusia.” Penegasan diri mengandaikan sebuah situasi negatif kekaburan diri. Sebuah dialektika yang keji terjadi di dalam batin setiap pelaku kekerasan, yaitu ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri, merasa gagah saat menghadapi korbannya yang terkapar tak berdaya. Untuk itu, “prosedur pahlawan” berbicara sangat jelas di sini: berdiri di atas korbannya yang tidak berdaya. Sementara sang hero meraup kembali harga diri dan kehormatannya.

Dia yang berdiri tegak di atas korban-korbannya yang tidak berdaya, mengambil keuntungan identitas dengan seolah-olah sebagai manusia kelas satu. Makna dirinya diukur dengan jumlah mereka yang dipukuli, dianiaya dan dibunuh. Itulah “penegasan diri” dalam perspektif seorang pencandu kekerasan.

Dalam situasi manakah manusia mengalami kekaburan diri ini? Dalam “ruang kolektif”. Ini yang berbahaya. Pada ruang kolektif ini, kekerasan diproduksi oleh kebersamaan. Tidak lagi orang per orang. Dalam ruang kolektif pula pelaku-pelaku kekerasan terseret oleh desakan kebersamaan mereka, sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan pelaku-pelaku kekerasan yang lain. Kewajaran dalam melukai atau menghabisi nyawa sesamanya itu dimungkinkan karena individu-individu dalam ruang kolektif memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang bernilai; sebagai bentuk usaha mereka memperjuangkan identitas atau mempertahankannya. Motif identitas inilah yang dicurigai oleh Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence; the Illusion of Destiny sebagai akar kekerasan. Karena motif identitas, sangat mungkin pelaku kekerasan merasa tidak bersalah, apalagi itu dilakukan bersama-sama dalam sebuah ruang kolektif dan dipandang sebagai realisasi suatu nilai.

Yang salah?

Jika dalam masyarakat modern seperti hari ini, masih saja terjadi praktik-praktik kekerasan, tentunya ada yang salah dalam lingkungan sosial pendidikan kita. Fungsi utama lingkungan sosial pendidikan jelas-jelas yaitu merawat, mengajarkan dan mentransmisi budaya seperti nilai-nilai, sikap, peran dan pola-pola perilaku. Pendidikan yang baik harusnya mampu mendorong manusia berbuat santun, menghargai perbedaan (pluralisme), mencintai sesama dan menghargai hidup.

Bahwa pendidikan sangat memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Kecuali jika kekerasan menjelma menjadi “bahasa hukum”, “bahasa agama”, dan/atau “bahasa pendidikan” (semacam modal), tak ada jaminan lagi siapa yang dapat menyelamatkan nilai-nilai santun, menghargai perbedaan, mencintai sesama dan menghargai hidup itu. Relevan dengan ini, Thomas Hobbes penah mengatakan, “The source of every crime, is some defect of the understanding; or some error in reasoning; or some sudden force of the passions.”

***

Penulis: Syamsul Kurniawan, M.S.I (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak, Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *