AKAR KEKERASAN MANUSIA; Sebuah Tinjauan Psikoanalisa Freud

Ist

Penulis: Syamsul Kurniawan (Dosen FTIK IAIN Pontianak/ Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga)

KASUS kekerasan paling aktual, adalah kasus kekerasan berbau rasis yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat. Kekerasan tersebut menimpa seorang warga negara berkulit hitam: George Floyd. Karena kekerasan yang diterimanya, Floyd kehilangan nyawanya. Kasus kekerasan pada Floyd ini membangkitkan amuk warga negara kulit hitam di Amerika. Kabarnya adalah kasus kekerasan yang jamak terjadi di negara yang sering mengumbar-ngumbar paling menghormati hak asasi manusia. Rupanya tidaklah demikian. Di Amerika Serikat, kasus kekerasan terhadap orang kulit hitam telah sering terjadi, jauh sebelum kasus kekerasan terhadap George Floyd terungkap.

Kekerasan yang berbau rasisme terjadi di Amerika saat ini, hanyalah puncak gunung es dari sejarah kekerasan manusia. Sebagian kekerasan memang terjadi karena alasan stereotype. Bahkan sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan yang berciri demikian juga telah ditampilkan oleh anak turunan Adam-Hawa; Habil dan saudaranya Qabil.

Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan “kedaulatan” seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain. Termasuk apa yang terjadi di Amerika saat ini.

Kekerasan memang sulit dipisahkan dari kehidupan manusia. Seperti satu koin dengan dua sisi mata uang logam. Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, adalah terjadinyanya perang saudara yang berdarah-darah, yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan.

Dan kenyataan selalu berhasil membuktikan, bahwa dalam kekerasan yang cenderung mentradisi dalam kehidupan manusia, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya; bisa berdarah-darah. Lantas dari sisi psikologi muncul sebuah pertanyaan yang relevan, mengapa manusia ini selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan? Dan mengapa pula sebagian manusia bisa menjadi rasis dan menyukai baku hantam dengan sesamanya demi mempertahankan kondisi subjektif narsistiknya?

Inilah yang ingin didiskusikan dalam esai yang saya tulis ini. Fokus esai ini adalah tentang akar kekerasan manusia dari perpektif psikoanalisa Sigmund Freud. Berdasarkan fokus ini, jelas bahwa teori Freudlah yang saya pinjam untuk memberikan analisa tentang kekerasan manusia.

SIAPA FREUD?

Freud yang bernama lengkap Sigmund Freud, lahir di Freiberg, di kota Austro-Hongaria, 6 Mei 1856 merupakan seorang ilmuan Jerman di akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an. Meski tidak dikenal sebagai sosiolog, kenyataannya Freud memengaruhi karya-karya beberapa sosiolog. Yang terkenal sebutlah Talcott Parsons dan Norbert Ellyas, dan sejumlah teoritisi-teoritisi sosial lain.

Freud yang dilahirkan di Freiberg, pada tahun 1859  bersama keluarganya bermigrasi ke Wina. Kemudian pada tahun 1873, ia baru memutuskan untuk kuliah. Fakultas yang ia jajaki adalah sebuah Fakultas Kedokteran di Universitas Wina. Dan di kampus ini, Freud ternyata lebih tertarik pada sains ketimbang kedokteran dan bekerja di laboratorium fisiologi. Tetapi ia tetap menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran tersebut.

Setelah lulus kuliah dan meninggalkan laboratorium tahun 1882, Freud kemudian bekerja di sebuah rumah sakit dan kemudian membuka praktek spesialisasi penyakit saraf. Freud-lah yang pertama kali menggunakan hipnosis dalam upaya meneliti sejenis gangguan saraf yang kemudian dikenal sebagai “histeria.” Teknik analisisnya dipelajarinya dari Jean Martin Charcot di Paris tahun 1885. Kemudian ia menerapkan teknik yang dirintis oleh Joseps Breuer, rekannya seorang dokter dari Wina. Dengan teknik ini, Freud berhasil menyimpulkan bahwa gejala histeria akan lenyap bila pasien mau menceritakan seluruh keadaan sejak dari awal munculnya gejala itu.

Tahun 1895, bersama Breuer, Freud menerbitkan buku dengan serentetan implikasi revolusioner. Bahwa penyebab neorosis seperti histeria menurut Freud adalah bersifat psikologis; bukan bersifat fisiologis seperti yang diyakini orang-orang sebelumnya di zamannya. Bahkan Freud mengusulkan sebuah model terapi yang hanya mengandalkan model percakapan terus menerus; untuk mendalami sebab musabab gangguan yang dialami pasien. Demikianlah cara lahirnya praktik dan teori psikoanalisis yang belakangan sangat kesohor; bahkan melampaui zamannya.

Dengan temuan teoritisnya, Freud kemudian memulai proyek kerjasama dengan Breuer ketika ia hendak meneliti misalnya tentang faktor seksual, atau lebih umum lagi faktor libido sebagai akar penyebab neorosis. Beberapa tahun kemudian Freud menyarikan teknik terapinya dan banyak sekali menulis tentang banyak hal berangkat dari teori psikoanalisa yang ia usulkan tersebut.

Tahun 1902 Freud mulai mengumpulkan sejumlah muridnya dan mereka mengadakan pertemuan sekali seminggu di rumahnya. Tahun 1903/1904, seperti Carl G. Jung mulai menggunakan gagasan Freud dalam praktik psikiatri. Meski Perang Dunia I memperlambat perkembangan psikoanalisis, tetapi setelah tahun 1920 teori ini senyatanya kembali berkembang pesat. Dengan kemunculan Nazisme, pusat kajian psikoanalisis pindah ke Amerika dan berlanjut hingga kini.

Tetapi, Freud tetap di Wina hingga Nazi merebut Wina pada tahun 1938. Sejarah mencatat bagaimana Nazi begitu bersemangat membakar buku-buku yang ditulis Freud pada tahun 1933; hanya karena ia adalah keturunan Yahudi. Tanggal 4 Juni 1938 Freud meninggalkan Wina setelah membayar uang tebusan dan presiden Rooselvelt memohonkan pengampunan Freud. Freud menderita penyakit kanker rahang sejak 1923 dan kemudian wafat di London pada 23 September 1939.

FREUD DAN TEORINYA YANG SELALU RELEVAN

Manusia adalah anak kandung dari zamannya. Saya sependapat dengan sebuah asumsi ini. Begitupula para pemikir-pemikir kesohor dunia, baik dulu dan sekarang, bukan tidak mungkin apa yang mereka pikirkan adalah respon terhadap permasalahan-permasalahan zamannya. Kalaupun ia memiliki visi tentang masa depan, sungguh itu juga tidak lain kecuali merespon apa yang tengah rasakan di zamannya. Sigmund Freud juga begitu.

Sebagai anak kandung dari zamannya, sulit memungkiri posisi Freud yang tengah merepresentasikan karakter pemikir-pemikir di zamannya. Terutama dari kalangan kaum borjuis abad 19, yang mendapat pengaruh positivisme ilmiah dan vitalisme, demikian pula Freud. Style hidupnya yang Victorian itu kemudian tercitrakan pada pandangan-pandangannya. Meskipun mewakili gambaran pemikir-pemikir di zamannya, bukan berarti ia luput dari kontroversi. Justru Freud kesohor karena pemikirannya yang kontroversial dan berhasil melampaui zamannya.

Banyak pemikiran-pemikiran Freud yang belakangan diamini banyak pemikir-pemikir setelahnya; pun begitu pada hari ini. Teori-teorinya selalu relevan dibahas, dipinjam dan dikembangkan. Gagasannya selalu aktual, bahkan di masa “dunia yang dilipat” (dalam istilah Yasraf Amir Piliang); untuk menggambarkan betapa majunya masa abad 21 ini jika dibandingkan dengan masa ketika Freud hidup.

Teori psikoanalisa yang ia cetuskan memang sering digunakan dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam ranah psikologi. Sudah tidak terhitung jumlah penulis yang mensitasi teorinya ini. Seturut zaman, teorinya tentang psikoanalisa bisa dibilang turut mewarnai interpretasi yang berkembang, seolah tidak pernah mengenal akhir untuk ditafsirkan.

Teori Psikoanalisa Freud yang terus ia sempurnakan hakikatnya membangun sebuah pandangan tentang manusia. Sigmund Freud mengemukakan bahwa kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Topografi atau peta kesadaran ini dipakai untuk mendiskripsi unsur awareness dalam setiap even mental seperti berfikir dan berfantasi. Bahkan sampai dengan tahun 1920an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur kesadaran itu. Baru pada tahun 1923 Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yakni id, ego, dan superego. Struktur baru ini tidaklah mengganti struktur lama dari teori psikoanalisanya, tetapi melengkapi/menyempurnakan gambaran mental terutama dalam fungsi atau tujuannya.

Dalam teori Freud, ada elemen pendukung struktur kepribadian manusia: Pertama, sadar (conscious). Tingkat kesadaran manusia ini berisi semua hal yang manusia cermati pada saat tertentu. Menurut Freud, hanya sebagian kecil saja dari kehidupan mental (pikiran, persepsi, perasaan dan ingatan) yang masuk ke ranah kesadaran (consciousness). Daerah sadar itu berisikan hasil proses penyaringan yang diatur oleh stimulus-stimulus. Isi-isi kesadaran itu tidaklah bertahan lama. Ia hanya mampu bertahan dalam waktu yang sangat pendek di daerah conscious, dan segera tertekan ke daerah preconscious atau unconscious begitu ketika seseorang memindahkan perhatiannya ke yang lain.

Kedua, prasadar (preconscious), yang disebut juga dengan ingatan siap (available memory). Prasadar adalah tingkat kesadaran yang menjembatani antara sadar dan tak sadar. Isi prasadar berasal dari sadar dan tak sadar. Pengalaman yang ditinggal oleh perhatian, semula disadari tetapi kemudian tidak lagi dicermati, akan ditekan pindah ke daerah prasadar. Di sisi lain, isi materi daerah tak sadar dapat muncul ke daerah prasadar. Kalau sensor sadar menangkap sinyal bahaya yang timbul akibat kemunculan materi tak sadar, materi itu kemudian akan ditekan kembali kepada ketidaksadaran. Materi tak sadar yang sudah berada di daerah prasadar itu bisa saja muncul kembali sebagai kesadaran dalam bentuknya yang simbolik, seperti salah ucap, lamunan, mimpi dan/ atau mekanisme pertahanan diri.

Ketiga, tak sadar (unconscious). Tak sadar di sini adalah bagian yang paling dalam dari struktur kesadaran dan menurut Freud merupakan unsur yang maha penting dari jiwa manusia. Secara khusus Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran bukanlah abstraksi-abstraksi yang hipotetik tetapi itu adalah kenyataan yang sifatnya empirik. Ketidaksadaran itu berisi insting, impuls dan drives yang dibawa dari lahir, dan pengalaman-pengalaman traumatik (biasanya pada masa anak-anak) yang ditekan oleh kesadaran dipindah ke daerah tak sadar. Isi atau materi ketidaksadaran berdasarkan teori Freud, memiliki kecenderungan kuat untuk bertahan terus dalam ketidaksadaran manusia, pengaruhnya dalam mengatur tingkah laku; sangat kuat namun tetap tidak disadari oleh manusia itu.

Model perkembangan teori psikoanalisis dasar ini terus-menerus dimodifikasi oleh Freud selama 50 tahun terakhir hidupnya, yang kemudian mengkristal pada tiga komponen pokok: pertama, satu komponen dinamik atau ekonomik yang menggambarkan pikiran manusia sebagai sistem energi yang cair; kedua, satu komponen struktural atau topografik berupa sebuah sistem yang memiliki tiga struktur psikologis berbeda tetapi saling berhubungan dalam menghasilkan perilaku; dan ketiga, satu komponen sekuensial (urutan) atau tahapan yang memastikan langkah maju dari satu tahap perkembangan menuju tahap lainnya, yang terpusat pada daerah-daerah tubuh yang sensitif, tugas-tugas perkembangan, dan konflik-konflik psikologis  tertentu.

  1. Komponen Dinamik

Semangat (atau arah) perkembangan ilmiah dan intelektual pada akhir abad ke-19 terpusat di sekitar kajian tentang energi, dan Freud menerapkan konsep energi tersebut terhadap perilaku manusia. Ia menyebut energi ini sebagai energi psikis (psychic energy) atau energi yang banyak mengoperasikan berbagai komponen sistem psikologis. Pada ranah ini, Freud mengasumsikan bahwa insting (instincts) manusia atau dorongan-dorongan psikologis manusia yang muncul tanpa dipelajari; dan ini merupakan sumber utama energi psikis manusia. Insting manusia memiliki dua ciri khas yang sangat penting, yakni: ciri konservatif (pelestarian) dan ciri repetitif (perulangan).

Maksudnya, insting selalu menggunakan sesedikit mungkin jumlah energi yang diperlukan bagi manusia untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas tertentu dan kemudian mengembalikan organisme kepada keadaannya yang semula, dan hal itu berikutnya terjadi secara berulang-ulang. Dalam teori psikoanalisa Freud, insting manusia bertindak sebagai perangsang pikiran yang mendorong manusia sebagai individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Insting pada manusia juga bisa dipandang sebagai gambaran psikologis dari proses biologis yang berlangsung pada manusia itu sendiri.

  1. Komponen Struktural

Ada tiga aspek yang dibicarakan Freud dalam hal ini: pertama, Id (Das Es). Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id mencakup semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls dan drives. Id berada dan beroperasi pada sebuah daerah yang mewakili subjektivitas, yang tidak pemah disadari sepanjang usia manusia. Id pada manusia berhubungan erat dengan proses fisiknya untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya. Id pada manusia ini beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan, yaitu: berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.

Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relatif inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang menuntut pemuasan. Jadi ketika ada rangsangan yang memicu energi untuk bekerja – timbul tegangan energi – id beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan din ke tingkat energi yang rendah. Pleasure principle ini lazimnya diproses dengan dua cara, tindak refleks (reflex actions) dan proses primer (primary process). Tindak refleks adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan mata – dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan. Proses primer adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan – dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya.

Proses membentuk gambaran objek yang dapat mengurangi tegangan, disebut pemenuhan hasrat, misalnya lamunan, mimpi dan halusinasi psikotik. Id berdasarkan asumsi Freud hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedaka benar-salah, tidak tabu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang memberi kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.

Kedua, Ego (Das Ich). Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita; sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle); usaha memperoleh kepuasan yang dituntut Id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan metalui proses sekunder (secondary process), yakni berfikir realistik menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud. Proses pengujian itu disebut uji realita; melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah difikirkan secara realistik. Dari cara kerjanya dapat dipahami sebagian besar daerah operasi ego berada di kesadaran, namun ada sebagian kecil ego beroperasi di daerah prasadar dan daerah tak sadar.

Ibaratnya, ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih rangsangan mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang harus dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan manusia. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Atau juga bisa dikatakan, bahwa ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dan superego. Ego yang sesungguhnya bekerja untuk memuaskan Id, maka karena itupula menurut Freud, ego tidak memiliki energi sendiri dan menerima suplay energi dari Id.

Ketiga, Superego (Das Ueber Ich). Superego pada manusia adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian manusia yang beroperasi memakai prinsip idealistik (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan Id dan prinsip realistik pada Ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego dia tidak mempunyai energi sendiri. Sama dengan ego, superego beroperasi di tiga daerah kesadaran. Namun berbeda dengan ego, dia tidak mempunyai kontak dengan dunia luar (sama dengan Id) sehingga kebutuhan kesempurnaan yang diperjuangkannya tidak realistik (Id tidak realistik dalam memperjuangkan kenikmatan).

Prinsip idealistic yang dimaksud di sini mempunyai dua sub prinsip, yakni conscience dan ego-ideal. Super-ego dengan demikian adalah representasi dari elemen yang mewakili nilai-nilai yang ditanamkan orang tua atau interpretasi orang tua mengenai standar sosial, yang diajarkan kepada anak-anak mereka melalui berbagai larangan dan perintah. Apapun tingkahlaku yang dilarang, dianggap salah, dan mendapat hukuman orang tua, yang kemudian diterima oleh anak kemudian menjadi suara hati (conscience) dari si anak. Ini akan berisi apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh anak; yang terngiang-ngiang bahkan ketika si anak menginjak remaja atau dewasa. Begitupula apapun yang disetujui, dihadiahi dan dipuji orang tua akan diterima menjadi standar kesempurnaan atau ego ideal, yang berisi apa saja yang seharusnya dilakukan.

Proses mengembangkan conscience dan ego ideal, yang berarti menerima standar salah dan benar itu disebut introyeksi (introjection). Sesudah terjadi introyeksi, kontrol pribadi akan mengganti kontrol orang tua. Superego yang sifatnya nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam pikiran. Namun superego juga seperti ego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tetapi merintangi pemenuhannya. Paling tidak, ada tiga fungsi superego pada manusia; (1) mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik, (2) merintangi impuls id, terutama impuls seksual dan agresif yang bertentangan dengan standar nilai masyarakat, dan (3) mengejar kesempurnaan.

Struktur kepribadian id-ego-superego dari teori psikoanalisa Freud di atas jelas bukan bagian-bagian yang menjalankan kepribadian, tetapi itu adalah nama dalam sistem struktur dan proses psikologik yang mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Biasanya sistem-sistem itu bekerja bersama sebagai tim, di bawah arahan ego. Ketika konflik muncul di antara ketiga struktur itu, bukan tidak mungkin seseorang menunjukkan gejala abnormal.

  1. Komponen Sekuensial

Terakhir dari model Freud adalah komponen tahapan atau komponen sekuensial (sequential or stage component). Aspek ini menekankan pola atau gerak maju organisme melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berbeda dan semakin lama semakin adaptif. Menurut Freud, pintu pertama menuju kematangan adalah tahapan perkembangan genital, di mana terbentuk hubungan yang berarti berlangsung terus menerus.

Kecuali itu, Freud mengasumsikan para bayi terlahir dengan kemampuan untuk merasakan kenikmatan apabila terjadi kontak kulit, dan para bayi itu memiliki semacam ketegangan di permukaan kulit mereka yang perlu diredakan melalui kontak kulit secara langsung dengan orang lain. Freud menyerupakan kenikmatan ini dengan rangsangan seksual tetapi ia memberi catatan bahwa hal ini berbeda secara kualitatif dari tipe rangsangan seksual yang dialami oleh orang dewasa karena kejadian yang dialami bayi ini lebih bersifat umum dan belum terdiferensiasi.

Freud menyebut kemampuan untuk mengalami kenikmatan ini dan kebutuhan untuk meredakannya dengan nama seksualitas bayi, yang berbeda dari seksualitas orang dewasa. Pandangan mengenai seksualitas bayi dan anak-anak ini memicu protes luas orang-orang menentang Freud pada masa-masa akhir era Victorian dan awal abad ke-20. Tetapi Freud dan para pengikutnya, yang mendasarkan pendirian mereka pada pengalaman-pengalaman klinis, bersikukuh pada teori tersebut” Mereka tetap berpegang pada pandangan bahwa kornponen-komponen psikologis-eksperiensial saling terkait dengan disertai pergantian zona-zona erogen secara biologis melalui urutan (sekuen) tertentu. Dengan demikian tahapan-tahapan perkembangan ini disebut sebagai tahapan-tahapan psikoseksual (psychosexual stages). Teori psikoanalisa Freud memosisikan tahapan-tahapan ini dengan sifatnya yang universal, berlaku pada semua karakteristik manusia di usia anak-anak.

Menurut Freud, kemunculan setiap tahapan psikoseksual dan sebagian bentuk perilaku yang terjadi di setiap tahapan dikendalikan oleh faktor-faktor genetik atau kematangan sedangkan isi tahapan-tahapan tersebut berbeda-beda bergantung pada kultur tempat terjadinya perkembangan. Sekali lagi ini memperlihatkan contoh mengenai pentingnya interaksi antara kekuatan keturunan dan kekuatan lingkungan bagi proses perkembangan.

Freud berpendapat bahwa dalam perkembangan manusia terdapat dua hal pokok yaitu: pertama, bahwa tahun-tahun awal kehidupan memegang peranan penting bagi pembentukan kepribadian; dan kedua, bahwa perkembangan manusia meliputi tahap-tahap psikoseksual sebagai berikut:

  1. Tahap oral (sejak lahir hingga 1 tahun). Sumber kenikmatan pokok yang berasal dari mulut adalah makan. Dua macam aktivitas oral ini, yaitu menelan makanan dan mengigit, merupakan prototipe bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian hari. Karena tahap oral ini berlangsung pada saat bayi sama sekali tergantung pada ibunya untuk memdapatkan makanan, pada saat dibuai, dirawat dan dilindungi dari perasaan yang tidak menyenangkan, maka timbul perasaan-perasaan tergantung pada masa ini. Freud berpendapat bahwa simtom ketergantungan yang paling ekstrem adalah keinginan kembali ke dalam rahim;
  2. Tahap anal (usia 1 sampai 3 tahun). Setelah makanan dicernakan, maka sisa makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara refleks akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf tertentu. Pada umur dua tahun anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan tentang pengaturan atas suatu impuls instingtual oleh pihak luar. Pembiasaan akan kebersihan ini dapat mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap pembentukan sifat-sifat dan nilai-nilai khusus. Sifat-sifat kepribadian lain yang tak terbilang jumlahnya konon sumber akarnya terbentuk dalam tahap anal.
  3. Tahap phalik (usia 3-5 tahun). Selama tahap perkembangan kepribadian ini yang menjadi pusat dinamika adalah perasaan-perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan mulai berfungsinya organ-organ genetikal. Kenikmatan masturbasi serta kehidupan fantasi anak yang menyertai aktivitas auto-erotik membuka jalan bagi timbulnya kompleks Oedipus. Freud memandang keberhasilan mengidentifikasikan kompleks oedipus sebagai salah satu temuan besarnya. Freud mengasumsikan bahwa setiap orang secara inheren adalah biseksual, setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun pada anggota lawan jenis. Asumsi tentang biseksualitas ini disokong oleh penelitian terhadap kelenjar-kelenjar endokrin yang secara agak konklusif menunjukkan bahwa baik hormon seks perempuan terdapat pada masing-masing jenis. Timbul dan berkembangnya kompleks Oedipus dan kompleks kastrasi merupakan peristiwa-peristiwa pokok selama masa phalik dan meninggalkan serangkaian bekas dalam kepribadian;
  4. Tahap laten (usia 5 sampai awal masa pubertas). Masa ini adalah periode tertahannya dorongan-dorongan seks agresif. Selama masa ini anak mengembangkan kemampuannya bersublimasi (seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah, bermain olah raga, dan kegiatan lainya). Tahapan latensi ini antara usia 6 sampai 12 tahun (masa sekolah dasar);
  5. Tahap genital/kelamin (masa remaja). Dorongan-dorongan dari masa-masa pragenital bersifat narsisistik. Hal ini berarti bahwa individu mendapatkan kepuasan dari rangsangan dan manipulasi tubuhnya sendiri sedangkan orang-orang lain terdorong hanya karena membantu memberikan bentuk-bentuk tambahan kenikmatan tubuh bagi anak. Selama masa adolesen, sebagian dari cinta diri atau narsisisme ini disalurkan ke pilihan-pilihan objek yang sebenarnya. Dorongan-dorongan pada tahap-tahap oral, anal, dan phalik melebur dan disistensiskan dengan impuls-impuls genital. Fungsi biologis pokok dari tahap genital tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan keamanan sampai batas tertentu.

Akar Kekerasan Manusia Berdasarkan Teori Psikoanalisa Freud

Berdasarkan paparan sebelumnya, menurut teori psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu superego, ego dan id. Superego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi superego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superegonya.

Dengan demikian hakikatnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup dan dorongan untuk mati. Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud secara khusus tercitrakan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido pada manusia ini yang kemudian memberikan energi psikis pada id.

Pada bagian lain, energi superego juga sangat mungkin berasal dari dorongan untuk mati. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi dorongan untuk mati diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi dorongan untuk mati diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan yang biasanya dimulai dari stereotype pada lawan saingan.

Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisalah ditarik simpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain). Pada konteks ini, bukan tidak mungkin lingkungan sosial pendidikan seseorang ikut andil dalam membentuk kesadaran seseorang dalam berinteraksi dan memandang orang lain (the other). Stereotype yang sering menjadi pemicu dari terjadinya kekerasan, amat mungkin terbentuk secara sadar dan tidak sadar oleh lingkungan sosial pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat dan social media). Maka, stereotip yang menggelayut dalam lingkungan sosial pendidikan yang mestinya melingkari dunia sosial seorang manusia sebagai individu sangatlah mungkin menjadi picu konflik, menjadi semacam “bara dalam sekam” dalam diri manusia dalam memancing munculnya konflik-konflik horizontal yang seringkali ditandai oleh bentuk-bentuk kekerasan fisik.

Kekerasan yang berbau rasis yang begitu dirawat dalam sejarah Amerika sampai hari ini, yang kemudian melahirkan korban-korban dari warga negara kulit hitam, bukan tidak mungkin akar penyebabnya bersumber dari sebab yang saya sebutkan ini.***

(Desa Kapur, 16 Juni 2020)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *