Pengarus utamaan moderasi beragama merupakan ikhtiar yang tepat, di tengah menguatnya radikalisme atas nama agama. Dengan moderasi beragama diharapkan masyarakat lebih terbuka, lebih toleran, lebih saling menyayangi dan mampu membangun kerjasama meski dalam keragaman.
Taqdir kita hidup di tengah bangsa yang majemuk, baik suku, agama, ras dan orientasi ideologis. Kita tidak bisa menegasikan keragaman yang ada, malah sebaliknya kita semestinya mampu mensiasati kemajemukan itu sebagai modal sosial, kekayaan budaya dan sumber daya politik kebangsaan.
Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka, diperlukan strategi penanaman yang tepat. Tepat dalam artian, secara metodis efektif dan efisien, serta tepat sasaran. Kemudian dari segi pragmatis memberikan kontribusi yang positif untuk perdamaian dan pembangunan. Pendekatan indoktrinasi terkadang tidak optimal menggugah kesadaran. Pendekatan yang barangkali tepat buat saat ini adalah pendekatan yang dialektik dan deliberatif. Terlebih lagi bagi kalangan perguruan tinggi.
Pendekatan dialektik dan deliberatif akan mendorong terjadi dialektika akademik dalam menjabarkan dan menginternalisasi gagasan moderasi beragama. Kebijakan seperti sertifikasi wawasan kebangsaan bagi mahasiswa calon pengurus organisasi mahasiswa, atau sertifikasi buat para pendakwah, semuanya adalah bentuk formalisasi dan uniformitas penafsiran. Fenomena tersebut di atas merupakan wujud formalisasi yang cenderung menyeragamkan (uniformitas) cara pandang dan batasan pandangan dan sikap moderat. Hemat penulis hal tersebut kontra produktif dengan elan vital moderasi beragama.
Semestinya pendekatan yang harus dikembangkan adalah bagaimana mendorong iklim kebebasan akademik di kampus sehingga gagasan moderasi diuji dan diperkaya melalui dialektika keilmuan. Penulis punya keyakinan, selama kebebasan berpikir dan dialektika keilmuan hidup di kampus (baik di kalangan mahasiswa dan dosen) maka benih-benih radikalisme tidak akan tumbuh. Karena setiap pikiran dan gagasan akan diuji argumentasinya dalam medan perdebatan. Sebaliknya jika indoktrinasi yang terjadi, maka potensi untuk berkembang sikap intoleran semakin besar. Karena tidak ada sortir pikiran dan tidak ada alternatif pandangan dalam tafsir yang monolitik.
Kemudian dengan pendekatan deliberatif gagasan moderasi beragama akan diperkaya dari proses dialektika dari bawah, bukan seperti sekarang yang cenderung top down. Kesadaran harus lahir dari bawah, dari pikiran-pikiran yang kritis baik diantara para dosen dan mahasiswa. Apalagi kalau kita bicara Perguruan Tinggi Keagamaan, substansi pikiran dan gagasan moderasi beragama sudah setua lembaganya. Jauh sebelum Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin mengagasnya.
Kecuali jika Perguruan Tinggi Keagamaan sudah kehilangan etos dan tradisi intelektualnya, sehingga perlu diseragamkan pemikirannya. Penulis yakin “harta karun” pikiran kritis masih terus tumbuh berkembang di PT Keagamaan, meskipun boleh jadi sekarang agak “compang camping” alias mulai langka.
Hadirnya Rumah Moderasi hendaknya bukan hanya pelengkap penderita, dibuat tapi tanpa kerja. Akan tetapi bagaimana Rumah Moderasi menjadi Rumah Pikiran, Rumah Gagasan dan Rumah Pengerak spirit beragama secara moderat. Beragama secara rasional, toleran, inklusif, berkeadilan dan penuh kasih sayang.(compassionate). Para dosen harus diajak kembali untuk berpikir, dan melahirkan gagasan cemerlang tentang keberagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan.
Para mahasiswa juga harus diajak berpikir, berdialektika dan partisipatif membincangkan problematika riel di masyarakat. Bukan hanya dicekoki dengan cara pandang yang seragam dan sempit, agar mereka tidak tumbuh sebagai generasi ultranasionalisme yang sok moderat, sok nasionalis, sementara kenyataannya bertolak belakang. Berpikiran sempit, eksklusif, menganggap diri paling benar dibandingkan yang liyan. Wa Allah a’lwm bi shawab.
Direktur Rumah Moderasi IAIN Pontianak.
Oleh : Eka Hendry Ar.*