MERAWAT KERUKUNAN DAN PERDAMAIAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Meskipun isu kerukunan antar umat beragama bukan isu baru dalam sejarah Indonesia, namun hingga kini masih relevan diperbincangkan terkait kondisi kontemporer. Urgensi ini setidaknya tampak dari penegasan kembali oleh Menteri Agama RI tentang Indonesia Rukun pada HUT Kemenag yang ke 75. Masih relevannya wacana kerukunan terkait dengan kondisi mutakhir, dimana konflik masih rentan terjadi, baik dalam konteks inter maupun antar ummat beragama, maupun antar umat beragama dengan pemerintah.

Masih terjadi praktek intoleransi inter dan antar ummat beragama di berbagai tempat di Indonesia. Kemudian, juga masih terjadi gesekan (friction) antar masyarakat yang tersulut oleh isu primordial (agama dan suku). Seperti yang baru-baru ini terjadi penolakan pendirian gereja HKBP Maranatha di Cilegon. Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa, kehidupan beragama masyarakat Indonesia masih menyimpan bara persoalan yang dari waktu ke waktu tak kunjung dapat terselesaikan dengan baik.

Terlebih lagi sekarang akan memasuki tahun politik, momentum dimana agama rentan “diperalat” untuk tujuan politik praktis. Fenomena politik aliran dan gerakan populisme walaupun sebagai realitas politik yang make sense, namun seringkali juga menambah beban persoalan relasi keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini, lambat laut akan memperburuk keadaan.

Menemukan jawaban atas persoalan yang ada, merupakan bagian dari upaya kita mengawetkan spirit kerukunan dan kedamaian antar anak bangsa. Melalui pengertian dan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan, maka solusi yang akan dihasilkan juga akan jauh lebih mengena. Sejauh ini, kita “gagal” memotret berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat kita, terutama terkait dengan peta kerukunan hidup umat beragama. Kita masih sering beranggapan, jika tidak terjadi kekerasan fisik (physical violent) inter dan antar umat beragama, maka kita menggira masyarakat dalam keadaan baik-baik saja alias damai, harmonis dan rukun. Anggapan seperti ini seringkali membuat lengah, sehingga mengendorkan ikhtiar kita untuk merawat kedamaian dan kerukunan.

Indikator damai atau rukun hanya karena tidak terjadi tindakan kekerasan fisik atau benturan fisik adalah kesimpulan yang dangkal dan simplistik. Dangkal karena indikatornya hanya melihat realitas semata pada permukaan saja (manifest), dan simplistik. Padahal damai atau kerukunan akan terdeteksi dengan baik, manakala kita mampu mampu membaca realitas yang ada di bawah permukaan kehidupan (laten). Karena akar persoalan sosial biasanya tersembunyi di bawah “tumpukan tanah” kehidupan. Apa yang manifes, sebenarnya hanya tampak awal dari bongkahan besar masalah yang ada di dasar kehidupan sosial masyarakat (noumena) (istilah Otto Scharmer ice berg theory).

Menurut hemat penulis, ada beberapa persoalan krusial terkait tri kerukunan umat beragama di Indonesia. Persoalan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu persoalan struktural dan persoalan kultural. Berikut penjelasannya.

Persoalan Sosio-Politik : Kendala Ekstrinsik

Persoalan struktural terkait dengan faktor sosio-politik yang memberikan kontribusi timbulnya keretakan hubungan antar dan inter umat beragama. Faktor ini juga disebut dengan faktor eksternal yang “menyerang” dari luar. Berikut perjelasannya.
Pertama, Kebijakan politik negara dalam mengelola keragaman hidup umat beragama di Indonesia. Secara normatif, pemerintah telah menetapkan regulasi tentang kehidupan beragama, seperti UUD 1945 pasal 29, UU PNPS No. 1 /1965 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan/atau Penodaan Agama. Kemudian ada juga Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat. Termasuk juga tentang administrasi kependudukan, terkait dengan agama, seperti termaktub dalam UU No. 23 Tahun 2006. Namun, apakah dalam implementasinya sudah berjalan dengan baik. Apakah kebebasan beragama dan menjalankan agama dan keyakinan benar-benar telah terjamin dalam kehidupan nyata. Faktanya masih terjadi praktek persekusi terhadap kelompok agama tertentu dan berbagai tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas.

Kedua, Praktek penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hukum dianggap diskriminatif, tajam kepada opisisi dan tumpul kepada para pendukung kekuasaan. Beberapa kasus, penegakan hukum yang “tegas” dan “cepat” terhadap beberapa tokoh Islam, dan tindakan sebaliknya terhadap para buzzer yang pro pemerintah dan oligarki. Publik menilai hukum telah menjadi instrumen kekuasaan untuk silencing (membungkam) para oposisi. Pandangan ini sekarang mengemuka di ruang publik, menjadi bahan perbincangan di ruang publik dan ruang privat. Manakala publik menilai ketika ketidak adilan dipertontonkan secara nyata, maka ia akan menjadi ganjalan bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Lambat laut bisa saja berkembang menjadi sikap distrust terhadap pemerintah.

Ketiga, Dalam landscape politik Indonesia, masih terjadi pembelahan akibat dari politik aliran. Preferensi publik atas dasar agama masih cukup signifikan. Bagi partai politik, suara umat beragama (terutama yang mayoritas) selalu seksi untuk diperebutkan. Oleh karenanya, berbagai cara dilakukan untuk mengkapitalisasi wacaba agama menjadi suara, baik secara elegan maupun dengan modus machiavelism. Fenomena politisasi agama ini yang terkadang mengakibatkan masyarakat terbelah secara tajam, sehingga bukan mustahil dapat menyebabkan terjadikan konflik horizontal. Sebagaimana kita ketahui, jika konflik telah membawa-bawa isu primordial (SARA) maka konflik tersebut akan menjadi lebih eskalatif dan destruktif.

Keempat, Dalam konteks membangun Tri Kerukunan Antar Umat Beragama, terutama pada hubungan umat beragama dengan pemerintah. Hubungan keduanya masih memendam deretan masalah. Dalam konteks kuasa relasi, negara mestinya harus menjadi pengayom bagi semua kelompok agama. Negara tidak boleh menjadi “musuh” dari kelompok agama. Kecuali, kelompok yang bertindak anarkhis dan memberontak. Sepanjang tidak anarkhis dan mengancam integrasi bangsa, maka mestinya negara harus tetap membangun mengayomi kelompok tersebut, agar tetap berada pada koridor yang benar. Apalagi terhadap mereka yang oposan terhadap pemerintah, tidak seharusnya pemerintah menjauh atau reaktif terhadap kelompok tersebut. Mestinya pemerintah harus mengambil inisiatif, bersikap demokratis dan lebih apresiatif terhadap kelompok tersebut, karena negara membutuhkan oposisi sebagai mekanisme check and balance.

Persoalan Kultural : Kendala Intrinsik
Persoalan kultural terkait dengan mentalitas dan budaya masyarakat dalam mempraktekkan kehidupan beragama. Manifestasi dari persoalan krusial ini seperti tingkat pengetahuan masyarakat terhadap agama yang dianut maupun pemahaman terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Kemudian juga terkait dengan bagaimana afinitas atau ikatan sosial yang terbangun di antara umat beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, Dangkalnya pengetahuan umat beragama terhadap agamanya masing-masing, sebagai akibatnya, sikap dan prilaku beragamanya terkadang kurang mencerminkan substansi keyakinan agama yang dianut. Padahal, jika para penganut agama memahami ajaran agamanya dengan benar dan mendalam, maka akan terwujud praktek beragama yang lebih elegan dan humanis. Karena sejatinya, setiap agama pasti mengajarkan hal-hal yang baik dan pasti pula menolak segala bentuk kekerasan dan kejahatan. Akibat dari pemahaman keagamaan yang kurang mendalam, akan timbul sikap fanatik buta, ghuluw (berlebihan dalam hal agama) atau malah bersikap ekstrim (tasyaadud).

Kedua, Disamping rendahnya kepahaman terhadap agama dan keyakinannya sendiri, kita juga banyak yang tidak paham (tidak mau paham) dengan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita. Miskinnya pemahaman kita terhadap orang lain, mengakibatkan mudah terbangun kesalah pengertian satu dengan lain. Disamping itu, prasangka dan stereotype negatif juga akan tumbuh subur di antara umat beragama. Rendah pengetahuan kita terhadap orang yang berbeda keyakinan dengan kita, sejatinya sebagai akibat dari kecenderungan kita hanya memandang keberadaan diri kita sendiri (akibat dari claim of truth, claim of salvation, claim of superior), tidak menganggap orang lain penting bagi kita. Perbedaan agama sejatinya tidak harus membuat kita kehilangan kesadaran tentang interdependensi antara satu dengan lainnya. Sebab kita membutuhkan keberadaan pihak lain, termasuk mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Hidup memaksa kita untuk berdampingan, berinteraksi dan bekerja sama, bahkan terkadang memaksa kita berselisih paham hingga konflikpun tidak terhindari. Karena ini keniscayaan hidup dan kehidupan, maka menjadi sangat relevan sekali, agar kita saling memahami dan mengerti lebih baik tentang kita dan orang di sekiling kita.

Ketiga, Diantara persoalan yang sering kali menghambat terwujudnya kerukunan antar umat beragama adalah kecenderungan kita bersikap double standard (standar ganda), antara depan dan belakang tak sama. Bersandiwara, pada saat semuka seolah-olah tiada masalah, namun giliran di belakang (atau kembali ke komunitas agamanya) kita menumpahkan semua persoalan yang ada. Meminjam istilah Erving Goffman, dramaturgi, kita bersikap ganda, antara panggung depan (front stage) dan belakang (back stage), tidak ada keotentikan bersikap. Padahal kalau kita mau jujur, tidak mungkin hubungan antar umat beragama yang demikian komplek tidak ada masalah. Mestinya ada keberanian dan kejujuran kita bersama untuk membincangkan segala persoalan yang kita hadapi, termasuk masalah yang timbul dari interaksi antara kita.

Deretan persoalan-persoalan di atas, hemat penulis menjadi batu sandungan dalam membangun dan merawat kerukunan antar umat beragama. Baik faktor struktural maupun kultural sama-sama berkontribusi menganggu harmonisasi Tri Kerukunan Umat Beragama. Namun demikian, melalui pemahaman komprehensif atas segala persoalan tersebut, akan menjadi jalan lapang menemukan solusi yang tepat untuk merawat kerukunan dan perdamaian. Strateginya harus simultan antara aspek struktural dan kultual, karena jika tidak, maka persoalan tidak akan terpecahkan dengan paripurna. Karena ini kerja yang berat dan serius, tentu butuh waktu panjang, energi besar, kesabaran yang tinggi serta etos yang kuat guna mengurai “benang kusut” persoalan ini.
Wa Allah a’alam bi shawab.

*Direktur Rumah Moderasi IAIN Pontianak/ Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan PT Kahmi Wilayah Kalbar.

 

Oleh : Eka Hendry Ar*.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *