Tantangan Pendidikan Daring bagi Pesantren di Zona Merah COVID-19

Source: Google

Satu hal yang penting dan tidak boleh disepelekan oleh pihak pesantren, terutama bagi mereka yang berada di zona merah COVID-19 adalah keselamatan para santri. Beberapa berita yang diturunkan dua minggu terakhir ini misalnya, seharusnya bisa dijadikan acuan betapa rentannya pesantren di tengah pandemi ini menjadi episentrum COVID-19. Seperti kasus di Pati (Kompas.id, 2020), Banyuwangi (Kompas.com, 2020), di Subang (Detik.news, 2020), dan masih banyak lagi.

Ini harus menjadi perhatian bersama, pesantren tidak boleh menjadi episentrum-episentrum baru di tengah pandemi COVID-19 ini. Namun bukan pula berarti, pihak pesantren tidak melakukan kerja-kerja inovasi yang membuat proses pembelajaran santri tetap berlangsung, meskipun harus dilakukan secara dalam jaringan (daring).

Di sinilah letak tantangannya bagi pesantren. Meski dilakukan secara daring, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren saat ini hendaknya dapat berlangsung progresif dan menggunakan paradigma belajar pendidikan modern seperti paradigma belajar dalam empat visi pendidikan menuju abad 21 versi UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.

Pertama, proses belajar yang bersifat teoritis dan berorientasi pada pengetahuan rasional dan logis (learning to know) sebagai sesuatu yang inheren dalam pendidikan pondok pesantren. Di pesantren sebelum pandemi ini, para santri memang tidak hanya belajar untuk mengetahui tetapi juga belajar menyatakan pendapat secara kritis melalui berbagai fasilitas yang disediakan untuk itu. Kini, tantangannya bagi pihak pesantren adalah bagaimana hal yang sama bisa diberikan tetapi secara daring.

Kedua, belajar untuk melakukan atau berbuat sesuatu (learning to do). Visi ini lebih terkait dengan sisi praktis dan teknis yang pencapaiannya dilakukan melalui pembekalan santri dengan keterampilan-keterampilan yang dapat membantunya menyelesaikan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapinya. Ini tercermin misalnya, dalam pendidikan kemandirian yang sangat kentara dalam kehidupan keseharian santri di pondok sebelum masa pandemi.

Ketiga, learning to be. Sebelum masa pandemi ini, lingkungan pondok menjadi sentra belajar santri untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan sebagai satu paket bagian dari proses belajar santri menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri. Pengembangan diri secara maksimal di pondok pesantren erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak dan kondisi lingkungan seorang santri. Kemampuan diri yang terbentuk di lingkungan pondok sebelum masa pandemi secara maksimal memungkinkan seorang santri dapat mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi.

Keempat, learning to live together. Pendidikan di pesantren hendaknya menanamkan kesadaran santri bahwa mereka sedang hidup dalam sebuah masyarakat global dengan aneka ragam latar belakang sosial, budaya, bahasa, suku, bangsa dan agama. Dalam kehidupan masyarakat yang demikian ini, nilai-nilai toleransi, tolong-menolong, persaudaraan, saling menghormati dan perdamaian hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap santri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa lingkungan pondok sangat kondusif bagi santri untuk mempelajari kesemuanya ini, mengingat keadaan santri-santri pesantren yang memang berbeda latar belakang sosial budayanya. Tetapi sekali lagi itu terjadi pada masa normal, sebelum terjadinya pandemi.

Kini, tantangan bagi pesantren selama masa pandemi ini adalah mampu atau tidak mereka beradaptasi dengan model pendidikan daring. Dengan model pendidikan daring ini, keempat visi belajar pesantren di atas selanjutnya sangat mungkin mengarah pada apa yang saya sebut dengan “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Di tengah pandemi ini, tidakkah santri hendaknya dapat dididik untuk menjadi pembelajar sejati; mereka dapat belajar “dari apa saja”, “dari siapa saja”, “kapan saja” dan “di mana saja”, bahkan dari rumah masing-masing santri yang lokasinya jauh dari lingkungan pondok mereka. Proses belajar santri di tengah pandemi ini, bukan tidak mungkin kelak menjadi suatu sikap atau kepribadian yang melekat pada diri seorang santri yang relevan bagi masa depan mereka.

Di tengah pandemi ini, learning how to learn dapat ditanamkan pihak pesantren melalui berbagai cara, baik melalui pengajaran formal, pengajian, pengarahan, bimbingan, penugasan, pelatihan, dan seterusnya yang diberikan secara daring. Jadi segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan dialami para santri secara daring dimaksudkan supaya santri mengerti benar tentang “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Mungkinkah? Saya jawab mungkin. Tinggal bagaimana menyiapkan blue printnya saja. Tetapi yang harus dipahami pula, bahwa blue print pengembangan model pendidikan daring bagi pesantren di tengah pandemi, hanya mungkin berhasil ketika didukung oleh sistem sosialnya. Dalam beberapa tulisan saya (termasuk di situs web FTIK ini), selalu saya terangkan bagaimana dalam logika struktural fungsional, apapun inovasi yang coba diberlakukan di sebuah sistem sosial hanya akan mampu bertahan manakala didukung secara imperatif fungsional oleh sistem sosialnya, seperti bagaimana ia berhasil diadaptasikan, kemungkinan tercapai tujuan-tujuannya yang inovatif, adanya integrasi antar anggota-anggotanya dalam aktualisasinya, dan termasuk kemampuan mempertahankan pola-pola yang ada terhadap kemungkinan adanya gangguan dan ketegangan yang muncul terhadap inovasi yang dilakukan, terutama yang muncul dari dalam sistem sosial itu sendiri.

Kecuali itu, semua kita berharap semoga pandemi COVID-19 ini segera berakhir, dan keadaan kembali normal sebagaimana biasanya. Aamiin.***

Penulis: Syamsul Kurniawan (Dosen FTIK IAIN Pontianak, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Referensi

Detik.news. (2020, Agustus 21). Klaster Ponpes Sumbang 77 Pasien Positif COVID-19 Baru di Banyuwangi. Retrieved from Detik.news: Klaster Ponpes Sumbang 77 Pasien Positif COVID-19 Baru di Banyuwangi

Kompas.com. (2020, Agustus 22). Kasus Corona di Banyuwangi Melonjak, 73 Positif dalam Sehari, Terbanyak dari Santri Pondok Pesantren. Retrieved from Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2020/08/22/07570021/kasus-corona-di-banyuwangi-melonjak-73-positif-dalam-sehari-terbanyak-dari

Kompas.id. (2020, Agustus 9). 35 Santri Pondok Pesantren di Pati Positif Covid-19 . Retrieved from Kompas.id: https://kompas.id/baca/nusantara/2020/08/09/35-santri-pondok-pesantren-di-pati-positif-covid-19/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *