Oleh: Syamsul Kurniawan, M.S.I (Dosen FTIK IAIN Pontianak; Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Di tengah menanjaknya jumlah orang yang terinfeksi covid-19, kebijakan untuk menormalkan kembali proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi, hemat saya perlu ditinjau ulang. Mengingat keterbatasan sekolah-sekolah atau kampus-kampus pada hari ini, rasa-rasanya tidak banyak institusi pendidikan siap dengan mekanisme new normal. Apalagi dengan protokol kesehatan yang ketat. Menurut saya, cukuplah untuk sementara waktu pembelajaran berlangsung dari rumah masing-masing antara guru-siswa/ dosen-mahasiswa (study from home) dengan model pembelajaran daring.
Jangan sampai putusan menormalkan kembali proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi, malah jadi bumerang atau yang juga disebut dengan sindrom Frankestein. Alih-alih ingin mencoba-coba terobosan yang dianggap menguntungkan, malah yang terjadi adalah buntung. Sebagaimana dilaporkan oleh juru bicara pemerintah terkait penanganan COVID-19, dr Achmad Yurianto. Ia mengungkapkan saat konferensi pers update penanganan Corona yang disiarkan live di YouTube BNPB, Minggu (28/6/2020). Jumlah korban positif covid-19 di Indonesia sudaj mencapai angka 54.010 orang, sedangkan jumlah pasien yang meninggal dunia jumlahnya telah menjadi 2.754. Dari statistik yang diumumkan ini, tidakkah putusan menormalkan kembali proses pembelajaran baik di sekolah maupun kampus, hanya akan beresiko terhadap lonjakan jumlah orang yang terinfeksi covid-19 secara tak terduga? Jika lonjakan ini terjadi, saya pesimis negara bisa mengendalikannya.
Bertahan dengan study from home?
Saya kira, study from home adalah sebuah kebijakan yang paling menguntungkan saat pandemi ini. Betul, bahwa hasil evaluasi menunjukkan bagaimana selama study from home ini berlangsung banyak ditemukan kendala-kendala. Seperti model pembelajaran daring yang seharusnya bisa berlangsung inovatif dan kreatif, dan menjadi solusi di tengah pandemi, kenyataannya ketika dipraktikkan oleh guru dan dosen malah miskin dari inovasi dan kreasi, serta terkesan membosankan bagi siswa dan mahasiswa yang mengikutinya.
Jika hasil evaluasi model pembelajaran daring selama masa pandemi ini belum optimal, saya kira bukan “daring”nya yang patut disalahkan. Yang perlu dievaluasi adalah guru-guru atau dosen-dosen yang mempraktikkannya. Model pembelajaran daring yang marak dipraktikkan oleh guru-guru di tengah pandemi ini mestinya tidak asal-asalan. Meski dilakukan secara daring, proses pembelajaran mesti berlangsung secara progresif. Hal ini berarti guru-guru sebagai fasilitator selama pembelajaran ini berlangsung, mesti mengevaluasi dan kembali membenahi model pembelajaran yang ia praktikkan sehingga menjadi progresif di tengah masa pandemi ini.
Mereka juga perlu merumuskan target-target progresif terutama berkaitan dengan mutu proses pembelajaran daring yang ia praktikkan. Dengan merumuskan target-target yang progresif, diharapkan mutu belajar siswa di tengah pandemi ini dapat ditingkatkan secara optimal. Maka meskipun “belajar dari rumah”, siswa-siswa yang mengikuti prosesnya tidak akan merasa percuma. Logika progresif ini penting dirawat agar pembelajaran daring selama masa pandemi betul-betul memberikan efek positif yang lebih baik bagi kemajuan perkembangan siswa.
Betul, bahwa kebanyakan guru-guru atau dosen-dosen yang terlibat pada proses ini adalah guru-guru atau dosen-dosen yang tidak melek teknologi; mereka yang dalam kategorisasi teori generasi Graeme Codrington dan Sue Grant-Mashall sebagai generasi Y. Sementara siswa-siswa atau mahasiswa-mahasiswa yang mereka tangani kebanyakan generasi z, yang terlahir bahkan sudah akrab dengan berbagai teknologi digital di sekitar mereka. Condrington dan Marshall menyebut generasi z sebagai generasi yang terlahir dan dibesarkan dalam dunianya dengan berbagai kecanggihan teknologi digital dan kemunculan media baru (new media).
Siswa-siswa atau mahasiswa-mahasiswa yang belajar pada hari ini sejak kecil memang telah mengenal berbagai gadget canggih yang secara langsung atau pun tidak; telah menjadi habitus mereka. Kembali meminjam teori generasi Codrington dan Mashall, sebagai generasi z, siswa ini lahir antara tahun 1995-2012. Sehingga menurut Marc Prensky dalam sebuah essaynya yang terkenal “Digital Natives, Digital Immigrants” (2001), tanpa guru-guru atau dosen-dosen yang berpikir dan bertindak progresif dalam mendidik, kecil kemungkinan jarak yang jomplang antar generasi ini mampu diatasi. Hal ini karena menurutnya generasi z punya karakteristik sendiri yang berbeda dengan karakteristik generasi-generasi sebelumnya. Maka jika pada hari ini pembelajaran daring belum beradaptasi dengan baik, bukan tidak mungkin kendalanya ada pada guru-guru kita; bukan pada siswa.
Di tengah pandemi ini, model pembelajaran daring harus kita akui memang tengah menemukan momentumnya. Dengan tetap mempertahankan model pembelajaran ini sampai pandemi berakhir, negara hemat saya tidak perlu menanggung resiko besar dengan meledaknya jumlah korban covid-19.
Tetapi sekali lagi, model pembelajaran daring oleh guru ataupun dosen jangan pula diberikan dengan asal-asalan. Karena begitulah yang sepertinya yang sedang terjadi dalam praktiknya di lapangan selama study from home diberlakukan.
Mengapa harus progresif?
Model pembelajaran daring yang diandalkan selama study from home diberlakukan, hemat saya akan optimal jika berlangsung dengan prinsip-prinsip pendidikan progresif. Gagasan progresif dalam pembelajaran, khususnya di Amerika, dipelopori oleh John Dewey; seorang pemikir terkenal dalam dunia pendidikan saat itu. John Dewey (1859-1952) bisa dikelompokkan sebagai pemikir yang sangat masyhur di belantika pemikir-pemikir pendidikan di dunia. Bahkan, bisa dikatakan bahwa di Amerika ia merupakan seorang filosof pendidikan yang amat berpengaruh.
Karir akademis Dewey sangat istimewa, di mana ia dipercayai untuk mengajar di beberapa kampus terkemuka di Chicago dan Columbia. Sebelum wafat pada tahun 1952, Dewey telah mengantungi reputasi internasional terutama yang berkaitan dengan pendekatan pragmatisnya dalam bidang filsafat, psikologi dan politik liberal. Beberapa karyanya yang masyhur seperti: How We Think (1910), Democracy and Education (1916), Reconstruction in Philosophy (1920), Experience and Natur (1925), dan Logic: The Theory Inquiry (1938), Experience and Education, dan lain-lain. Kecuali itu, ide atau gagasan Dewey ternyata melampaui zamannya. Faktanya, ide atau gagasan yang pernah ia kemukakan melalui karya-karya tulisnya, bahkan hingga hari ini masih menjadi pertimbangan dan rujukan penting dalam dunia akademis.
Karyanya yang berjudul “Experience and Education” misalnya merupakan karya penting dari Dewey yang mengeksplorasi visi baru dalam membangun model pembelajaran secara progresif dan sekaligus mempertegas soal paham pragmatismenya. Gagasan atau ide yang progresif dalam membangun model pembelajaran sebagaimana disitir dalam karya-karya Dewey yang cukup padat, menegaskan bahwa pengalaman merupakan nilai yang sangat penting sehingga perlu dijadikan sebagai “paradigma” dalam merancang model pembelajaran. Melalui karya inilah dia berusaha melengkapi dan menyempurnakan fundamen filsafat pendidikan, yang sebelumnya masih didominasi karya kaum tradisionalis-konservatif.
Problem mendasar yang dirasakan Dewey terhadap model pembelajaran pada masanya adalah kurangnya kesinambungan dan interaksi edukatif antara siswa dengan konten yang ia dipelajari. Kesenjangan ini juga tengah dialami bangsa kita di tengah pandemi ini. Konsekuensinya sistem pendidikan selama masa pandemi ini, seringkali mereduksi fakta sosial, dan bahkan seringkali bertentangan dengan fakta sosial itu sendiri. Karena itu, supaya tidak terjadi “salah didik’, demikian saya ingin mengutip Dewey, maka model pembelajaran yang diberikan haruslah berupaya dan bergerak secara progresif untuk mengakomodasi sisi-sisi pengalaman menjadi basis atau sumber pembelajaran yang dapat ditransfer ke dunia siswa.
Mengikuti tafsiran Dewey, bahwa proses merancang model pendidikan daring hari ini, tak lain adalah merupakan kerja-kerja scientific method untuk mengekplorasi dunia, memperoleh pengetahuan tentang makna dan nilai secara kumulatif, dan seterusnya. Pendidikan memang sudah sepatutnya sebagai instrumen strategis yang betul-betul aktual dalam situasi sosial yang faktual. Jadi, proses pembelajaran daring jelas bukan suatu instrumen kosong, terasing dan tidak kontekstual. Pada ranah ini, kritik tajam yang diberikan Dewey pada guru-guru atau dosen-dosen yang mendukung cara-cara tradisional dalam belajar, ia ibaratkan telah mendukung pembelajaran menjadi tak ubahnya gerbong yang berjalan tanpa arah dan tujuan.
Dewey melontarkan kritikannya pada model-model pembelajaran tradisional, mata pelajaran-mata pelajaran yang dijadikan standar tingkah laku yang diwarisi dari masa lalu, dan para siswa atau mahasiswa yang seluruhnya harus mempraktikkan sikap kepatuhan, penerimaan, dan ketaatan dari apa yang dipelajari tersebut.
Dewey tidak setuju jika buku, terutama buku teks, menjadi representasi utama dari pengetahuan dan kebijaksanaan masa lampau, sedang guru dan dosen masih menjadi satu-satunya instrumen yang menghubungkan siswa dan mahasiswa dengan bahan pelajaran. Guru atau dosenpun menjadi aktor yang menjadi sangat dominan dalam pembelajaran; menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan keterampilan bagi siswa atau mahsiswa, dan selalu memaksakan peraturan berdasarkan keyakinannya sepihak kepada siswa-siswa atau mahasiswa-mahasiswanya. Akibatnya, pelajaran yang diberikan menjadi tidak peka terhadap ide, dan berapa banyak kehilangan dorongan untuk belajar yang mereka alami. Bagaimana mungkin model pembelajaran ini relevan dengan kebutuhan zaman.
Sekarang bandingkan dengan model-model pembelajaran daring yang diikuti siswa atau mahasiswa dari guru-guru atau dosen-dosen mereka. Beberapa temuan di lapangan, kebanyakan model-model pembelajaran daring yang dipraktikkan oleh guru atau dosen, tidak mengikuti logika-logika progresif sebagaimana yang diusulkan Dewey. Sehingga berdasarkan teori Dewey, kita bisa memahami mengapa model-model pembelajaran daring yang dipraktikkan oleh guru-guru atau dosen-dosen selama pandemi ini tidak berlangsung optimal dan menerima banyak kritikan. Hal ini karena model pembelajaran daring yang dipraktikkan masih mempertahankan logika-logika tradisional, yang dalam pandangan Dewey hanya membuat siswa-siswa di sekolah terasing dari apa yang tengah mereka pelajari.
Apa yang mereka pelajari tentang karakter misalnya, begitu asing saat mereka membandingkannya dengan situasi riil kehidupan sosial di sekitar mereka. Sehingga proses pembelajaran yang diberikan oleh guru-guru atau dosen-dosen ini seolah tidak punya makna apapun bagi siswa atau mahasiswa. Apalagi, logika pendidikan tradisional memang seringkali menunjukkan tabiatnya yang otoriter. Logika ini jelas sangat kontraproduktif dengan kemerdekaan belajar; sebagaimana yang sering disuarakan oleh Bapak Menteri Nadiem Makarim.
Dari hasil evaluasi, apa yang perlu diperbaiki?
Kurang optimalnya pembelajaran daring selama pandemi ini, bukan berarti model pembelajaran daring tidak relevan dengan kebutuhan siswa atau mahasiswa. Justru mengingat kebaikan-kebaikannya, model pembelajaran daring adalah “harga mati” selama pandemi ini. Apakah sudah terlambat memperbaikinya? Tentu saja belum.
Menyadari kurang optimalnya model pembelajaran ini disebabkan karena “gagal logika” guru-guru atau dosen-dosen, hemat saya upaya memperbaikinya hanya perlu dilakukan dengan meletakkan dasar dan fondasi filsafat pendidikan yang relevan. Sehingga yang perlu dilakukan guru atau dosen pada hari ini adalah meluruskan dasar filosofis pendidikan mereka. Untuk itu, meminjam asumsi Dewey, harus dilakukan pembenahan secara sistematis, dengan cara membangun dasar filosofis yang sistematis, positif dan konstruktif dari guru-guru atau dosen-dosen. Hal ini jelas penting dilakukan guru dan dosen sebelum mereka merumuskan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan diikuti siswa atau mahasiswa mereka.
Bagi Dewey, aspek pengalaman adalah nilai penting yang harus menjadi dasar filosofis pendidikan. Pengalaman tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, bahkan keduanya saling komplementer satu dengan yang lain. Relasi antara pengalaman dan pendidikan adalah relasi yang afirmatif; saling menguatkan dan mengokohkan satu dengan yang lain. Jadi dengan meletakkan pengalaman sebagai basis pendidikan, kata Dewey, akan memberi kecenderungan positif yang menjadi cita-cita setiap proses dalam pendidikan karakter yang hendak dicapai. Prinsip ini yang harus digenggam kuat oleh guru-guru atau dosen-dosen saat masa pandemi ini.
Kemajuan siswa dan mahasiswa dapat bertumbuh dan berkembang seturut dengan pengalaman. Baik perubahan fisik, intelektual maupun moral yang berlangsung secara kontinuitas. Dengan menempatkan pengalaman sebagai proses pembelajaran selama pandemi, maka setiap gerak pendidikan merupakan langkah penentuan nasib generasi di masa depan. Sebab, masa depan siswa-siswa saat ini sangat dipertaruhkan oleh kondisi pengalaman sebelumnya. Tentu saja hal ini mesti menjadi pelajaran yang sangat berharga lagi edukatif bagi siswa-siswa. Pengalaman sebagai sebuah hal penting pula dalam membangun karakter,
karena tujuan pendidikan bagi Dewey adalah sama dengan tujuan masyarakat. Sebuah tujuan yang didasarkan pada pengalaman kehidupan aktual individu dalam masyarakat. Dengan demikian, potensialitas pendidikan akan ditentukan oleh pengalaman. Tidakkah pandemi ini juga merupakan pengalaman penting bagi siswa-siswa kita?
Walau gagasan Dewey dalam membangun karakter ini tumbuh dari percikan Barat (Amerika), apa yang digagasnya ini merupakan keprihatinan sekaligus alternatif. Sehingga proses pendidikan itu tidak terasing dengan alam kenyataan. Pemikiran Dewey tentang pembelajaran yang beberapa di antaranya saya kutipkan di atas, di tengah pandemi ini dapat menjadi sumber inspirasi. Terutama bagi guru dan dosen dalam mengaktualisasikan model pembelajaran daring selama siswa “belajar dari rumah”. Bagi peneliti di bidang pendidikan, perumus kebijakan pendidikan, atau para pemerhati pendidikan; ide Dewey ini bisa menjadi pintu masuk untuk mencari tatanan baru pendidikan di tengah pandemi. Yang sampai saat ini belum kunjung dapat, dan masih merambah jalan yang penuh terjal dan berduri.
Sebagai penutup, saya bependapat bahwa belum saatnya kebijakan untuk menormalkan kembali proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi itu dikeluarkan. Cukuplah saat ini, pembelajaran berlangsung dari rumah masing-masing siswa dan mahasiswa (study from home). Tetapi meskipun begitu, jangan sampai guru dan dosen jadi acuh dan membuat proses pembelajaran menjadi asal-asalan. Di tengah pandemi ketika pembelajaran berlangsung secara daring, mestinya ini menjadi peluang. Sehingga proses pembelajaran yang biasanya monoton di kelas-kelas konvensional menjadi lebih menarik dan tidak membosankan di kelas-kelas daring.
Yang perlu dilakukan oleh guru-guru dan dosen-dosen hanyalah menjadi lebih kreatif dan inovatif lagi. Logika mereka harus progresif di tengah pandemi ini. “We always live at the time we live and not at some other time, and only by extracting at each present time the full meaning of each present experience are we prepared for doing the same thing in the future,” demikian kata John Dewey dalam Experience and Education.***