DALAM menyikapi permasalahan-permasalahan lingkungan seperti banjir, tanah longsor, pencemaran air, pencemaran udara, tumpukan sampah, dan lain sebagainya, menjadi relevan apa yang disebutkan oleh Djohar bahwa pendidikan madrasah penting didesain sehingga fungsional dalam membangun kepedulian lingkungan siswa. Potensi untuk menjadi pelopor-pelopor yang merawat lingkungan itulah yang harus diperhatikan oleh guru-guru di madrasah khususnya dalam konteks memberikan pengalaman belajar pada siswa (Djohar, “Praksis Pendidikan Berwawasan Ekologi” dalam Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi)
Salah satunya, bisa melalui pelajaran fiqih. Pada konteks ini, guru fiqih di madrasah hendaknya punya kemampuan dalam mengajar dan mendidik siswa-siswa mereka. Sehingga materi fiqih yang dipelajari siswa bisa kontekstual dengan permasalahan-permasalahan lingkungan.
Pentingnya Membangun Karakter Kepedulian Lingkungan
Sebagaimana dimafhumi, Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, sedang mengalami dan merasakan konsekuensi dari krisis lingkungan yang tengah terjadi. Seperti pencemaran udara sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi ciptaan manusia seperti polusi yang dikeluarkan dari knalpot kendaraan bermotor, asap pabrik, dan lain sebagainya. Pencemaran udara ini menjadi semakin terasa dampaknya apalagi ruang terbuka hijau yang belakangan ini kian hari kian berkurang. Luas hutan semakin menyusut. Sementara fungsi hutan adalah menjadi paru-paru dunia dan bisa memberi kebaikan untuk manusia sedunia.
Kecuali persoalan tentang pencemaran udara ini, persoalan sampah juga tidak boleh disepelekan. Saat ini, di setiap harinya terutama di kota, ribuan ton sampah dihasilkan. Sementara dalam penimbunan atau pembuangannya tidak dilakukan secara benar. Sampah-sampah ini jika tidak diatasi secara benar jelas akan membahayakan kesehatan. Jelas saja sampah adalah sebab berkembangnya berbagai sumber penyakit, seperti sebab berkembang biaknya mikroba dan serangga-serangga yang membahayakan kesehatan manusia.
Contoh di atas hanyalah puncak gunung es dari krisis lingkungan yang sedang terjadi dan menjadi bagian dari kehidupan manusia saat ini. Hal ini untuk mempertegas bahwa krisis lingkungan yang diikuti oleh kerusakan fungsi-fungsi lingkungan dan bahkan melemahnya daya lingkungan akhir-akhir ini.
Begitu sering musibah alam terjadi di Indonesia, sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, makin menambah masalah, terutama musibah yang masuk kategori hasil perbuatan tangan manusia (man made disaster). Perilaku masyarakat yang salah telah menyebabkan luas hutan makin menyusut. Bahkan boleh dibilang, negara kita Indonesia ini mendapat gelar “juara pembalak” atau “juara penebang” hutan tercepat di dunia. Hutan kita ditebang setahun 2,8 juta hektar, (setiap menit hutan seluas 6x lapangan bola hilang). Padahal hutan kita diharapkan dapat menjadi paru-paru dunia dan bisa memberi kebaikan untuk manusia sedunia, dan kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Akibat yang lain, kawasan tangkapan air makin berkurang, cadangan air tanah makin langka, sementara itu di musim hujan air sungai meluap menimbulkan banjir, tanah longsor dan banyak kerugian lainnya yang diderita masyarakat. Menurut data WALHI terjadi ratusan kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di tiap tahunnya. WALHI memperkirakan kasus pencemaran lingkungan ini terus meningkat di tiap tahunnya. Kecuali itu, pembunuhan besar-besaran orang utan, hewan yang dilindungi, oleh petani kebun sawit di suatu wilayah di Kalimantan Timur adalah contoh lain betapa manusia Indonesia menampilkan perilaku destruktif pada lingkungan. Dam, berbagai contoh kasus lain. Di tengah pandemi yang mebuat hidup kita serba sulit inipun, beragam musibah bencana alam terjadi di sejumlah tempat di tanah air. Musibah bencana alam yang langganan di tiap tahunnya ini, bolehlah kita menyebut muncul terutama karena faktor human error, yang bukan mustahil berhubungan dengan faktor lainnya: krisis karakter.
Alasan-alasan kemerosotan karakter kepedulian lingkungan yang terjadi tidak hanya dalam keseharian masyarakat muslim Indonesia, namun telah menjadi ciri khas abad bangsa ini, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana pelajaran fiqih sebagai mata pelajaran rumpun agama Islam di madrasah, mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan karakter kepedulian lingkungan.
Membangun karakter jelas merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana diungkap dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi siswa sehingga mempunyai kecerdasan, kepribadian, dan karakter yang mulia. Amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 ini bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Karakter yang dimaksud di sini adalah “keseluruhan tingkah laku yang tampak dalam ciri khas seseorang.”
Pembelajaran Fiqih dan Karakter Kepedulian Lingkungan
Fiqih merupakan materi pelajaran rumpun agama Islam yang membahas tentang hukum-hukum Islam dan bersifat amaliah. Materi fiqih diberikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan pengalaman belajar tentang hukum Islam pada siswa terutama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di sekitarnya yang bersifat amaliyah. Mata pelajaran fiqih ini merupakan salah satu mata pelajaran yang penting diberikan pada siswa yang memeluk agama Islam, yang mana pada mata pelajaran ini siswa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan fiqih yang ia amalkan dalam kesehariannya.
Pengertian fiqih menurut bahasa adalah mengetahui secara mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Hal ini merujuk pada firman Allah Swt dalam Al-Qur‘an, “… tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama…” (Qs At-Taubah ayat 122)
Kecuali itu, definisi fiqih juga diberikan oleh ulama-ulama fiqih sejalan dengan perkembangan definisi fiqih itu sendiri, sebagaimana Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini mencakup semua aspek dalam Islam yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Pada tahapan perkembangan berikutnya, sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu, definisi fiqh yang diberikan berkembang menjadi ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis, yang diperoleh melalui dalil yang rinci. Definisi fiqih ini diberikan, misalnya, oleh imam al-Amidi. Sementara menurut Muslim Ibrahim, fiqih diartikan sebagai disiplin ilmu yang mengaji hukum syara’ yaitu firman Allah Swt yang berkaitan dengan aktifitas mukallaf berupa hal-hal yang wajib, sunnah, makruh, mubah atau ketetapan seperti syarat dan larangan yang kesemuanya digali dari dalil-dalil yang bersumber pada Al-Qur‘an dan as-Sunnah serta melalui dalil-dalil ijma’, qiyas, dan lain-lain.
Karena fiqih secara sederhana merupakan pemahaman dan perilaku yang bersumber dari ajaran agama (M. Cholidul Adib, Fiqih Progresif; Membangun Nalar Fiqih Bervisi Kemanusiaan, Jurnal Justitia) maka umumnya pembahasan dalam mata pelajaran fiqih biasanya seputar persoalan keagamaan seperti ubudiyah (ibadah), akhwal al-sakhsiyah (keluarga), muamalah (masyarakat) dan siyasah (politik). Menurut pendapat Sumanto al-Qurtuby, fiqih merupakan kajian keilmuan Islam yang dipakai untuk mengambil tindakan hukum atas sebuah kasus yang kontekstual dengan mengacu pada prinsip-prinsip ketentuan syariat Islam (Sumanto al-Qurtuby, KH. Sahal Mahfudh; Era Baru Fiqih Indonesia)
Sementara pengertian mata pelajaran fiqih bisa dimengerti sebagai sub materi pelajaran dalam rumpun agama Islam yang mengaji tentang hukum Islam yang sifatnya amaliah. Materi pelajaran fiqih diberikan terutama untuk memberikan pemahaman dan pengalaman belajar pada siswa di madrasah sehingga mereka pada gilirannya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di sekitar kehidupan mereka yang sifatnya amaliah berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam; termasuk dalam konteks ini permasalahan-permasalahan krisis lingkungan.
Maka dalam ranah pembelajaran fiqih di madrasah, fiqih menjadi sub materi pelajaran yang tidak terpisahkan dari kurikulum materi pelajaran pendidikan agama Islam, yang diberikan oleh guru fiqih melalui aktifitas bimbingan, pengajaran, latihan, pengalaman, pembiasaan dan keteladanan. Pelajaran fiqih yang biasanya seputar persoalan keagamaan seperti ubudiyah (ibadah), akhwal al-sakhsiyah (keluarga), muamalah (masyarakat) dan siyasah (politik), meliputi pelajaran tentang fiqh ibadah, fiqh muamalah, fiqh munakahat, fiqh jinayah, fiqh siyasah, dan fiqh al-bi‘ah. Luasnya cakupan fiqih menggambarkan adanya semangat untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan relasi antara manusia dengan Allah Swt, dengan sesama manusia dan dengan lingkungannya.
Mata pelajaran fiqih diberikan untuk membekali siswa sehingga: pertama, mengetahui dan memahami prinsip-prinsip hukum Islam dengan rinci dengan nilai-nilai yang universal yang bersumber dari dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial; kedua, melaksanakan dan mengamalkan prinsip-prinsip hukum Islam, berdisiplin dan bertanggung jawab baik pada lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.
Kontribusi pelajaran fiqih bagi siswa madrasah pada ranah ini adalah: pertama, terbangunnya karakter religius dan kesadaran beribadah siswa pada Allah Swt sebagai pedomannya dalam mencapai kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat; kedua, munculnya habituasi menjalankan prinsip-prinsip hukum Islam dengan keikhlasan dan perilaku yang sejalan dengan norma-norma moral di masyarakat; ketiga, terbentuknya karakter disiplin dan rasa tanggung jawab; keempat, menguatkan karakter iman dan taqwa pada Allah Swt serta akhlaqul karimah siswa seoptimal mungkin, yang kenyataannya telah lebih dulu ditanamkan dalam lingkungan sosial keluarga; kelima, membangun mental siswa terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pengetahuan dan keterampilan fiqih; keenam, memperbaiki kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan siswa baik dalam pengetahuan atau keterampilan beribadah yang mereka perlukan dalam kehidupan mereka sehari-hari; ketujuh, membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan fiqih yang diperlukan pada jenjang pendidikan berikutnya.
Ruang lingkup pelajaran fiqih di Madrasah Aliyah misalnya, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, mencakup kajian di antaranya tentang prinsip-prinsip ibadah dan syariat dalam Islam, hukum Islam dan perundang-undangan tentang zakat dan haji, hikmah dan cara pengelolaannya, qurban dan aqiqah, pengurusan jenazah, wakalah dan ketentuan siyasah syariyyah, hukum taklifi, dasar-dasar istinbath, serta kaidah-kaidah ushul fiqh dan penerapannya. Materi-materi ini hendaknya bisa dirancang sehingga bisa seturut dengan keperluan membangun karakter kepedulian lingkungan siswa-siswa madrasah.
Prinsip-Prinsip yang Penting dalam Pembelajaran Fiqih Untuk Membangun Karakter Kepedulian Lingkungan
Tentu saja ini harus diberikan dalam situasi dan kondisi belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan, dengan memegang teguh prinsip learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together (Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21; The New Mindset of National Education in the 21st Century). Keempat prinsip ini mengisyaratkan pembelajaran fiqh sebagai bagian dari kerja-kerja mendalami ilmu pengetahuan, mengasah keterampilan dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kecerdasan sosial dan lingkungan, yang mendukung konsep bahwa pembelajaran fiqih dalam aktualisasinya merupakan proses interaksi sosial dan lingkungannya.
Pembelajaran fiqih yang merujuk pada prinsip learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together, harusnya dapat membangun motivasi siswa dalam belajar fiqih, mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam pelajaran fiqih, mengasah pengalaman dan keterampilan berpikir logis serta sistematis dalam pembelajaran fiqih, sehingga suasana belajar menjadi kondusif, komunikatif dan tercipta hubungan yang harmonis antara guru fiqih dan siswanya, serta yang paling penting berhasil membangun kesadaran lingkungan siswa.
Sebagai penutup, alam bukan milik manusia tetapi ciptaan dan milik Tuhan. Alam memiliki keseimbangan dan keteraturan (sunatullah) dan manusia diserahi tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengelolaan yang dilandasi moralitas dan iman (lihat Agus Abu Aufa, 2011). Maksudnya, manusia sebagai khalifah fi al-ard dalam melaksanakan tugasnya harus mengikuti petunjuk-petunjuk al-Qur‘an agar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka siswa-siswa madrasah yang tentu saja pada gilirannya kelak akan mengambil alih tongkat estafet tanggung jawab sosial di tengah-tengah masyarakat, harus dibuat sadar betul bahwa pemanfaatan fungsi-fungsi alam dan pelestarian lingkungan hidup harus dikendalikan menurut petunjuk-petunjuk Allah Swt. Kalau tidak, bukannya ketenteraman, kenikmatan, dan kemudahan dalam hidup melainkan yang terjadi adalah bencana di mana-mana yang mendatangkan penderitaan bagi umat manusia dan lingkungannya (lihat QS al-Rum: 41). Dan, sekali lagi, atas alasan inilah, pelajaran fiqih yang diberikan pada siswa bisa dirancang untuk kepentingan membangun karakter siswa sehingga memiliki kepedulian terhadap lingkungan.***