Pendidikan Agama Islam dan Kecerdasan Ekoteologi

Seperti dapat dimafhumi, manusia dan alam mempunyai keterikatan yang kuat di mana keduanya mempunyai hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain untuk menjaga keseimbangan alam. Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara “penakluk” dan “yang ditaklukkan”, atau antara “majikan” dengan “hamba”. Dalam perspektif Islam, hubungan antara manusia dengan alam merupakan hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah Swt.

Manusia diperintahkan untuk memerankan fungsi kekhalifahannya yaitu kepedulian, pelestarian dan pemeliharaan. Berbuat adil dan tidak bertindak sewenang -wenang kepada semua makhluk sehingga hubungan yang selaras antara manusia dan alam mampu memberikan dampak positif bagi keduanya. Oleh karena itu manusia diperintahkan untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan alam guna menjaga keseimbangan alam dan meningkatkan keimanan kepada Allah Swt. Itu merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah Swt.

Dalam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, para siswa perlu diajari oleh guru-guru agama Islam mereka tentang pentingnya prinsip-prinsip “ekoteologi” ini, yang mana mereka dikenalkan tentang konsep-konsep hubungan manusia dengan alam yang dibangun dari kesadaran agama yang mereka anut, yaitu Islam. Pentingnya ini juga ada saya uraikan dalam buku saya berjudul Isu-Isu Kontemporer tentang Islam dan Pendidikan Islam (Ayunindya, 2020).

Tentu saja ada sebuah logika yang relevan dalam konteks ini yaitu mengenai hubungan manusia dan alam; salah satu bentuknya adalah anthroposentris, yang mana manusia menjadi pusat dari alam. Apa maksudnya? Sederhana saja menurut saya, semua yang ada di alam ini adalah untuk manusia.

Jika kita renungi, rasa-rasanya pun demikian. Tidakkah adanya kambing, sapi, ikan, padi, sayur-sayuran, dan sebagainya jikalau bukan untuk makanan kita? Buat apa pula ada kayu, batu, pasir, kalau bukan buat bangunan untuk manusia? Buat apa ada emas, berlian kalau gak dipakai oleh manusia sebagai perhiasan? Dalam kitab suci Al-Qur‘an, Allah Swt telah menjelaskan bahwa semua yang ada dialam ini memang diciptakan untuk kepentingan manusia (QS Al Baqarah: 29). Tapi berbeda dengan konsep anthoroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang memiliki hak tidak terbatas terhadap alam, maka Islam menempatkan manusia sebagai rahmat bagi alam (rahmatan lil ‘alamin) (QS Al Anbiyaa’:107).

Dan, pada ranah inilah diperlukan fungsi dan peran guru agama Islam dalam memberikan pencerdasan ekoteologis bagi siswa-siswa mereka bahwa walaupun mereka sebagai manusia diberi kelebihan oleh Allah Swt atas segala sesuatu di alam ini, tapi kelebihan itu tidak menjadikan kita sebagai penguasa atas alam dan isinya. Karena aturannya: alam dan isinya ini tetaplah milik Allah. Kita hanya diberikan kekuasaan atas alam tersebut sebagai pengelola dan pemelihara, dan pemakmur.

Kemudian ketika kita berinteraksi dengan alam, tidak seperti paham antroposentris yang menghalalkan segala cara asal kebutuhan manusia terpenuhi, Islam mengajarkan bahwa hak kita dalam memanfaatkan alam juga dibatasi oleh hak alam dan isinya itu sendiri (QS Al An’am: 141). Kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam memanfaatkannya, sehingga menimbulkan kerusakan. seharusnya semua yang ada dialam ini kita jadikan sebagai sarana untuk berpikir akan kebesaran Allah SWT (QS Ar Ra’du: 4). Berdasarkan logika ini, para siswa perlu mendapatkan pemahaman, bahwa bencana alam yang terjadi di tengah-tengah mereka, sudah barang tentu ada hubungannya dengan krisis pemahaman ekoteologis di tengah-tengah manusia saat ini. Contoh paling aktual, pandemi covid-19 yang begitu memukul negara-negara di dunia saat ini. Banyak ahli-ahli menyitir bagaimana pandemi covid-19 ini terjadi ada hubungannya dengan maraknya perdagangan satwa liar, kerusakan habitat, dan perubahan iklim yang membuat virus ini menginfeksi manusia.

Siswa-siswa di sekolah, dari pelajaran agama Islam yangdiberikan oleh guru-guru mereka, harus sampai pada kesadaran bahwa fungsi utama mereka diciptakan oleh Allah Swt, yaitu sebagai “hamba” dan sekaligus sebagai “khalifah Allah di muka bumi”. Esensi dari ‘hamba’ adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi “khalifah” adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.

Dalam konteks sebagai hamba Allah, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh terhadap penciptanya.Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang Pencipta berupa potensi yang sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.

Guru-guru agama Islam di sekolah harus mampu memberikan pencerdasan pada siswa-siswa mereka bahwa manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada dan kecenderungan kepada perbuatan fasik. Dengan kedua kecenderungan tersebut Allah berikan petunjuk berupa agama sebagai alat manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Akal memiliki kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.

Berikutnya fungsi yang kedua yaitu sebagai khalifah Allah di bumi, yaitu bagaimana siswa-siswa di sekolah mengerti bahwa sebagai manusia mereka telah dibebankan tanggung jawab untuk menjaga alam. Manusia memang diberikan kebebasan untuk memanfaatkan sumber daya alam, tetapi dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut agar tetap berpegangan pada prinsip menjaga keseimbangan pada alam.

Untuk melaksanakan tanggung jawabnya ini, manusia jelas telah diberikan keistimewaan berupa kebebasan untuk berkreasi sekaligus menghadapkan dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psikofisik.Namun ia harus sadar akan keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah, baik dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung (fungsi sebagai hamba) maupun konteks ketaatan terhadap sunatullah (fungsi sebagai khalifah). Perpaduan antara tugas ibadah dan khalifah inilah yang akan mewujudkan manusia yang ideal yakni manusia yang selamat dunia akherat, yang menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamiin). Dan, kecerdasan ekoteologi inilah yang perlu dibangun.***

Penulis: Syamsul Kurniawan (Dosen PAI FTIK IAIN Pontianak, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *