K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim di tanah air yang mewariskan tajdidiyah dengan tetap berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Model dakwah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan adalah model dakwah Salafiyah dan Tajdidiyah dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak terikat dengan aliran teologis, madzhab fikih dan tariqah shufiyah mana pun. Namun dalam kerja-kerja pembaharuan Islam tersebut, sulit menampik K.H Ahmad Dahlan banyak mengambil inspirasi dari pemikiran Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha saat berada di Arab Saudi.
Terutama Syaikh Muhammad Abduh, gagasan pembaharuannya banyak mengispirasi KH. Ahmad Dahlan dalam upayanya melakukan gerakan untuk memgembalikan kepada ajaran Islam yang murni, yang disebut sebagai gerakan purifikasi. Gerakan purifikasi yang dimaksud di sini bukanlah puritanisme yang serampangan seperti yang dicitrakan oleh kelompok Wahabi. KH. Ahmad Dahlan juga tidak pernah anti dengan kearifan lokal sejauh kearifan lokal tersebut tidak keluar dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Gerakan purifikasi yang dicitrakan oleh KH. Ahmad Dahlan justru boleh dibilang, sebagaimana telah dikatakan, lebih dekat atau banyak terinspirasi oleh gagasan Syaikh Muhammad Abduh dan bukannya Abdullah bin Abdil Wahab. Pendapat ini perlu penulis cetak tebal, agar tidak terjadi simpang siur yang mengaitkan model pembaharuan Islam yang diusulkan KH. Ahmad Dahlan dengan model gerakan wahabi yang dipelopori oleh Abdullah bin Abdil Wahab.
Sebagaimana kesuksesan yang diraih Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha dalam mengusahakan pembaharuan Islam dan pendidikan, begitupula yang ingin dikerjakan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang pada gilirannya terbukti banyak berkontribusi bagi kebangkitan Islam di Indonesia. Niat KH. Ahmad Dahlan jelas adalah untuk memperbaharui cara berfikir dan cara hidup umat Islam Indonesia. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia yang kita cicip pada hari ini, jelas sulit memungkiri adanya kontribusi pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan organisasi Muhammadiyah yang dirintisnya. Sukarno, Presiden Republik Indonesia, bahkan pernah mengatakan alasannya menggabungkan dirinya ke Muhammadiyah juga karena alasan betapa Muhammadiyah sangat rasional dan berpihak pada pembaharuan.
Mengapa Syaikh Muhammad Abduh?
Kuatnya pengaruh Syaikh Muhammad Abduh dalam gagasan-gagasannya KH. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh muslim lain di tanah air bisa dikaitkan dengan cerita tentang betapa berartinya Tafsir al-Manar. Begiti pula bagi KH. Ahmad Dahlan. Diceritakan tentang bagaimana saat Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) berada satu gerbong kereta api dengan Ahmad Dahlan (yang kemudian merintis Muhammadiyah), dan beliau duduk berhadap-hadapan. Meski saat itu mereka tidak mengenal satu sama lain, tetapi justru perkenalan yang terjadi di antara mereka didorong atas hobi yang sama, yaitu: membaca tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad ‘Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. Pertemuan itu akhirnya membuahkan ikrar bersama untuk bekerja menyebarkan gagasan-gagasan ‘Abduh di masyarakat masing-masing.
Syaikh Muhammad Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849 M/ 1226 H, pada masa pemerintahan Ali Pasya dan dibesarkan di Mahallat Nasr. Syaikh Muhammad Abduh adalah putera dari Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Ibunya berasal dari suku Arab asli. Menurut riwayat, silsilah keturunannya sampai kepada Umar bin Khattab.
Syaikh Muhammad Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang ia peroleh adalah membaca, menulis, dan menghapal al-Qur‘an. Syaikh Muhammad Abduh mampu menghapal al-Qur‘an dalam jangka waktu yang sangat singkat, yaitu hanya dua tahun. Pada usia 12 tahun ia telah menyempurnakan hapalannya. Kemudian pada usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tanta untuk belajar di Masjid al-Ahmadi. Di tempat ini ia belajar Bahasa Arab dan Fikih, serta menjaga hapalannya. Setelah belajar selama dua tahun, Syaikh Muhammad Abduh merasa bosan dan kecewa bahkan membawanya pada keputusasaan untuk mendapatkan ilmu seperti yang diinginkannya. Perasaan ini berpangkal dari metode pengajarannya, yang diterapkan di sekolah tersebut. Metode yang dipakai adalah hapalan tanpa mementingkan pemahaman. Hal ini menyebabkan ia memilih untuk kembali ke Mahallat Nasr.
Pada tahun 1866 M/1282 H, Syaikh Muhammad Abduh memasuki fase hidup berumah tangga. Empat puluh hari setelah ia menikah, ia diminta oleh ayahnya untuk kembali ke Tanta. Dalam perjalanannya ke Tanta, ia mengubah haluan menuju ke Kanisah untuk menemui pamannya Syaikh Darwisy Khadar. Pamannya ini adalah orang yang memiliki pengetahuan yang sangat luas karena sering melakukan perlawatan ke luar Mesir. Kepada pamannya inilah selanjutnya ia belajar dan mulai menekuni ilmu tasawuf. Selanjutnya Syaikh Muhammad Abduh kembali melanjutkan studinya ke Masjid al-Mahdi, Tanta. Beberapa bulan setelahnya, ia pergi ke Kairo dan memasuki al-Azhar.
Di al-Azhar ini, ia dan kawan-kawannya mempunyai kesempatan berdialog dengan tokoh pembaru Jamaluddin al-Afghani (1870). Jamaluddin al-Afghani lahir di Mesir pada tahun 1838 dan wafat di Turki tahun 1897 M. Ia adalah seorang pemikir Islam, aktivis politik dan jurnalis terkenal. Ia membenci kolonialisme dan mendorong gerakan Pan-Islamisme. Ia memiliki kepandaian, wibawa, kharisma, dan keyakinan akan masa depan peradaban Islam di tengah gejolak kolonialisme Eropa. Di negeri Islam, ia menjadi tokoh pemikiran nasionalisme.
Di sinilah awal perkenalan Syaikh Muhammad Abduh dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya. Melalui gurunya ini, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, teologi, politik, dan jurnalistik. Salah satu bidang yang paling menarik perhatiannya adalah teologi, terutama teologi Mu’tazilah. Mu’tazilah adalah salah satu aliran teologi Islam yang bersifat rasional dan liberal yang didirikan oleh Washil bin Atha’ pada tahun 718 M/ 100 H. Aliran ini sering disebut sebagai aliran rasionalis Islam, karena pandangan teologisnya yang lebih banyak didukung oleh dalil aqliyah (akal). Disebabkan tertarik dengan aliran Mu’tazilah, Syaikh Muhammad Abduh pernah dituduh ingin menghidupkan kembali aliran ini. Dia dipanggil oleh tokoh penentang aliran Mu’tazilah, namun Abduh mengatakan tidak taklid pada aliran manapun dan ingin menjadi pemikir yang bebas.
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun 1877 M, atas usaha perdana menteri Riyadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen/ pengajar di Universitas Dar al-‘Ulum dan al-Azhar. Di al-Azhar ia mengajar logika, teologi, dan filsafat. Ketika mengajar, Abduh senantiasa menekankan kepada muridnya agar berpikir kritis dan rasional, dan tidak terikat kaku pada suatu pendapat tertentu. Dalam memangku jabatannya ini, ia terus mengadakan perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan “udara segar” ke dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman, mengembangkan kesusasteraan Arab sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Di saat kaum ulama kuno mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, maka Abduh mengatakan bahwa pintu ijtihad itu akan selalu terbuka terus menerus bagi para alim ulama sampai dunia ini kiamat. Sebab Allah SWT telah mengaruniai kepada para hamba-Nya akal merdeka yang bebas mengembangkan buah pikiran untuk kebahagiaan dan kemajuan umat manusia.
Tidak hanya itu, ia juga melontarkan kritik tajamnya kepada pemerintah saat itu, berkenaan dengan politik pendidikan yang diterapkan. Sistem pengajaran yang diterapkan pada saat itu menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai ruh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajahan asing. Pada tahun 1879 M, yaitu 2 tahun setelah pengangkatan Abduh sebagai dosen, pemegang kekuasaan Mesir, Khedive Ismail digantikan oleh puteranya Taufiq Pasya. Pemerintahan yang baru ini rupanya lebih kolot dan reaksioner. Abduh dipecat dari jabatannya dan Jamaluddin al-Afghani diusir dari Mesir. Pada perkembangannya, kurang lebih satu tahun kemudian, Syaikh Muhammad Abduh kembali diberi tugas oleh pemerintah menjadi pemimpin Majalah al-Waqa‘i al-Mishriyah, dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaqlul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang masyhur. Melalui majalah ini, Syaikh Muhammad Abduh dapat kembali menyampaikan isi hatinya. Ia menyampaikan artikel-artikel yang hangat dan bernilai keilmuan yang tinggi. Selain itu ia juga dapat kembali menyampaikan kritiknya kepada pemerintah tentang hal-hal yang berkenaan dengan politik, sosial, dan pendidikan di Mesir.
Pada tahun 1882 M, terjadi pemberontakan di Mesir, di mana perwira-perwira tinggi yang tadinya dipercaya setia kepada pemerintah ambil bagian dan bahkan menjadi pemimpin pemberontakan tersebut. Pemberontakan tersebut diawali oleh kemunculan sebuah gerakan yang dipimpin oleh Arabi Pasya dan Abduh sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, Abduh dibuang ke luar negeri dan ia memilih Syria (Beirut). Di sini ia mendapatkan kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Pada tahun 1884 M, ia pergi ke Paris atas panggilan Jamaluddin al-Afghani yang saat itu telah berada di sana. Walaupun dalam masa pembuangan, namun semangat juangnya tidak pernah luntur. Masa ini ia pandang sebagai kesempatan terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya. Saat itu ia berdakwah di alam cakrawala dunia internasional, dalam cakupan yang lebih besar dan luas, yaitu di Paris yang terkenal dengan sebagai kota pusat peradaban dan kebudayaan Eropa.
Syaikh Muhammad Abduh memang selalu konsisten dengan sikap beraninya dalam membela Islam dari segala serangan dan penghinaan. Ia menantang Gabriel Henatoux, Menteri Luar Negeri Prancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Kemudian Hanoux seolah-olah meminta maaf melalui tulisannya dalam majalah al-Muayyad. Selain itu dihadapinya pula Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin majalah al-Jami‘ah, majalah Kristen yang terbit di Kairo, yang menyinggung perasaan umat Islam.
Di Paris, bersama Jamaluddin al-Afghani, ia menyusun suatu gerakan yang disebut sebagai Al-Urwatul Wutsqa, gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini, diterbitkanlah majalah dengan nama yang sama, yaitu Urwatul Wutsqa, dengan perantaraan majalah ini, Abduh mengajak seluruh umat Islam untuk sadar dan bangkit dan lepas dari cara berpikir yang fanatik dan kolot serta bersatu dalam membangun peradaban dunia. Dalam waktu yang singkat, majalah ini rupanya telah sangat berpengaruh bagi umat Islam serta mampu membuat kaum imperialis gempar dan cemas. Setelah majalah ini terbit 18 nomor, pemerintah Perancis melarangnya terbit. Demikian pula dengan pemerintahan Inggris yang melarang masuknya majalah itu ke India dan Mesir.
Pada tahun 1884 M, Syaikh Muhammad Abduh diizinkan untuk kembali ke Mesir. Setibanya di Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah. Masyarakat sangat menghormatinya. Kehadirannya kembali di Mesir sangat dinantikan oleh masyarakat untuk melanjutkan perjuangannya yang pernah ia tinggalkan. Syaikh Muhammad Abduh mengadakan perbaikan di Universitas al-Azhar. Rencananya itu didukung oleh pemerintah, Khedive Abbas Hilmi, meskipun terdapat banyak rintangan reaksioner yang selalu muncul dari pihak lawannya. Pada tahun 1889 ia diangkat menjadi mufti Mesir oleh pemerintah. Mufti dipandang sebagai jabatan yang paling tinggi bagi umat Islam pada saat itu. Oleh karena itupula, amanah ini ia jalankan dengan sebaik-baiknya hingga ia meninggal. Di samping itu, ia juga diangkat sebagai anggota majelis perwakilan. Syaikh Muhammad Abduh sering ditunjuk sebagai ketua panitia penghubung dengan pemerintah dan ia dikenal sebagai hakim yang sangat adil.
Kerja-Kerja Pembaharuan Islam
Syaikh Muhammad Abduh memang patut dijadikan inspirasi dalam kerja-kerja pembaharuan Islam sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dan belakangan oleh organisasi Muhammadiyah. Sebagai figur penting dalam sejarah pembaharuan pemikiran dan pergerakan (politik) Islam, Abduh memiliki gagasan-gagasan progresif sehubungan dengan pembaharuan umat Islam, di antaranya pendidikan Islam. Gagasan-gagasannya ini ia suarakan saat ia menjabat sebagai Rektor pada Universitas Al-Azhar di Mesir. Pada masa menjabat inilah, ia banyak melakukan perombakan terhadap universitas, yang pengaruhnya penting bagi pembaharuan Universitas al-Azhar saat itu.
Syaikh Muhammad Abduh meyakini bahwa kemajuan umat Islam hanya bisa dicicip setelah mereka mengalami kemajuan pendidikan yang signifikan. Alasan kenapa umat Islam mengalami kemunduran, hal ini menurutnya bisa jadi dikarenakan terjadinya situasi statis dalam kesadaran kolektif umat Islam. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, Islam mundur karena umatnya statis. Mereka enggan menerima bahkan menolak pembaruan, termasuk pembaharuan dalam konteks politik dan kenegaraan. Maka berdasarkan alasan tersebut, Syaikh Muhammad Abduh menyerukan pentingnya keberadaan ijtihad, dan pintu untuk itu seharusnya selalu dibuka untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan.
Syaikh Muhammad Abduh meyakini bahwa kemajuan umat Islam hanya bisa dicicip setelah mereka mengalami kemajuan pendidikan yang signifikan. Alasan kenapa umat Islam mengalami kemunduran, hal ini menurutnya bisa jadi dikarenakan terjadinya situasi statis dalam kesadaran kolektif umat Islam. Pada konteks ini, Syaikh Muhammad Abduh tampaknya menyukai model perubahan yang dilakukan secara evolusioner; bukan model perubahan yang dilakukan secara revolusioner sebagaimana yang tren dalam Marxisme.
Meski amat menekankan pentingnya rasionalisasi sebagai syarat berkemajuan, bukan berarti Syaikh Muhammad Abduh mengecilkan kedudukan iman. Bahkan sebaliknya, menurut Abduh sudah seharusnya iman dapat mendasari kesemua proses untuk mencapai kemajuan tersebut. Hal ini ia ulas dalam Risalah Tauhid, yang mencakup beberapa pokok pikiran: pertama, bahwa iman bukan sekadar tasydiq, akan tetapi iman juga mencakup ma’rifat yang disertai dengan perbuatan. Iman mencakup tiga unsur: ilmu (pengetahuan), i’tiqad (kepercayaan), dan keyakinan; kedua, sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, yaitu bahwa sifat Tuhan tidak berdiri sendiri; ketiga, perbuatan wajib Tuhan mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya dan kepentingan manusia. Selain itu, tugas Tuhan adalah berbuat baik kepada manusia, tidak membebani manusia dengan hal yang diluar kemampuan manusia, mengirim Rasul sebagai teladan bagi manusia yang berbuat baik dan jahat sesuai dengan apa yang mereka lakukan; keempat, Tuhan Maha Adil, niscaya mustahil untuk berbuat aniaya, karena hal tersebut bertentangan dengan keadilan Tuhan. Hukuman dan pahal diberikan pada manusia sesuai dengan amal baik dan buruknya; kelima, Tuhan Maha Berkuasa dan Berkehendak, tapi tidak bertindak sewenang-wenang karena bertentangan dengan sifat adilnya. Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dengan sunnah-Nya yang tidak mengalami perubahan; keenam, manusia diberi kehendak dan kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, sehingga dibekali akal dan pikiran untuk mempertimbangkan akibat perbuatannya, kebebasannya dibatasi hukum alam (sunnatullah); ketujuh, akal mempunyai fungsi yang sangat tinggi. Dengan akal dapat diketahui adanya Tuhan dan sifat-Nya, hidup di akhirat, kewajiban terhadap Tuhan, kewajiban berbuat baik dan menjauhi larangan, dan cara pembuatan hukum. Namun, wahyu tetap perlu diturunkan sebagai penolong akal untuk mengetahui secara terperinci kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Syaikh Muhammad Abduh amat menekankan ketauhidan dan rasionalitas, terutama sebagai responnya terhadap situasi sosial keagamaan masyarakat Mesir yang terbelakang dengan taqlid, bid‘ah, dan khurafat, serta pemikiran mereka yang statis. Abduh melihat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan tersebut adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan berpikir.
Pendidikan pada umumnya tidak diberikan kepada kaum wanita, sehingga wanita tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Abduh berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari ketidaktahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan sistim pengajaran yang tepat.
Sistim pendidikan yang ada pada saat itu melatarbelakangi pemikiran pendidikan Syaikh Muhammad Abduh. Sebelumnya, pembaruan pendidikan Mesir diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya menekankan pada perkembangan aspek intelektual dan mewariskan dua tipe pendidikan pada masa berikutnya. Model pertama ialah sekolah-sekolah moderen, sedang model kedua adalah sekolah agama. Masing-masing sekolah berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama lain. Pada sekolah agama tidak diberikan pelajaran ilmu-ilmu moderen yang berasal dari Barat, sehingga perkembangan intelektual berkurang. Sedangkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya diberikan ilmu pengetahuan Barat, tanpa memberikan ilmu agama.
Dualisme pendidikan yang memunculkan dua kelas sosial yang berbeda. Yang pertama menghasilkan ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi, sedang sekolah yang kedua menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada abad 19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka dapat menerima ide-ide Barat. Syaikh Muhammad Abduh melihat segi negatif dari dua model pendidikan tersebut, sehingga mendorongnya untuk mengadakan perbaikan pada dua instansi tersebut.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh tujuan pendidikan seharusnya di arahkan untuk mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual. Syaikh Muhammad Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
Kurikulum yang dirumuskan Syaikh Muhammad Abduh bisa dipetakan sebagai berikut: pertama, Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis, berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah Islam; kedua, untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar, dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan akhlak, dan sejarah Islam; ketiga, untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Dengan penerapan model kurikulum di atas, tampaklah bahwa Syaikh Muhammad Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Untuk mengalami kemajuan yang signifikan, Syaikh Muhammad Abduh merasa penting buat sekolah-sekolah umum memberikan pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
Dalam konteks metodologi pengajaran, Syaikh Muhammad Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Kecuali itu, menurut Syaikh Muhammad Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini didasarkan kepada QS al-Baqarah (02): 228 dan QS al-Ahzab 33: 35).
Pendapat Syaikh Muhammad Abduh tersebut di Mesir sendiri mendapat sambutan dari sejumlah tokoh pembaru. Murid-muridnya seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridha meneruskan gagasan tersebut melalui majalah al-Manar dan tafsir al-Manar. Kemudian Kasim Amin dengan bukunya Tahrr al-Mar‘ah, Syaikh Thanthawi Jauhari melalui karangannya al-Taj al-Marshuih bi al-Jawahir al-Qur‘an wan al-Ulum. Demikian pula selanjutnya seperti Farid Wajdi, Husein Haykal, Abbas Mahmud al-Akkad, Ibrahim A. Kadir al-Mazin, Mustafa Abd. Al-Raziq, dan Sa’ad Zaqlul, bapak kemerdekaan Mesir. Dan kemudian sampailah gagasan-gagasan Syaikh Muhammad Abduh yang berkemajuan dalam kerja-kerja pembaruan Islam ke Indonesia, sebagaimana yang kemudian menginspirasi KH. Ahmad Dahlan dan tokoh-tokoh muslim lain di tanah air.
Bahkan menurut Harun Nasution, selanjutnya, karangan Syaikh Muhammad Abduh sendiri banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Urdu, bahasa Turki, dan bahasa Indonesia. Gagasan Muhammad Abduh tentang pendidikan yang berkemajuan ini dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke 20. Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di Majalah al-Manar dan Al-Urwatul Wutsqa menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia Islam termasuk KH. Ahmad Dahlan, dan pada gilirannya di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Syaikh Muhammad Abduh. ***
Penulis: Syamsul Kurniawan, M.S.I (Dosen PAI FTIK IAIN Pontianak. Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)