PERUBAHAN sosial yang terjadi begitu cepat di era milenial saat ini tidak hanya membawa pengaruh yang cukup besar bagi generasi muda ke arah yang sifatnya positif, tetapi juga negatif. Disebut demikian, karena dampak kemajuan yang cukup pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi penanda kesuksesan era milenial juga berpengaruh terhadap karakter generasi muda yang mengarah pada krisis karakter. Beberapa kasus yang mengindikasikan krisis karakter di tengah generasi muda itu betul-betul tengah terjadi dewasa ini, seperti maraknya penyalahgunaan narkoba, seks bebas tanpa ikatan pernikahan, maraknya kekerasan dan tawuran, dan semacamnya.
Menurut Pusat Penelitian, Data dan Informasi (PUSLIDATIN) Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda mengalami peningkatan sebesar hingga 28 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kelompok sosial masyarakat yang rawan terpapar penyalahgunaan narkoba ini adalah mereka yang berusia pada rentang usia 15 sampai 35 tahun atau generasi milenial. (PUSLIDATIN, 2019) Seks bebas juga demikian, menjadi masalah generasi muda di era milenial. Sebuah studi terbaru misalnya, bahkan menemukan banyaknya generasi muda saat ini yang telah melakukan hubungan seks penetrasi tanpa menggunakan kondom. Penelitian yang dilakukan Reckitt Benckiser Indonesia terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan 33 persen remaja di Indonesia penah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58 persennya adalah mereka yang berusia di rentang usia 18 hingga 20 tahun dan belum menikah. (LIPUTAN 6, 2019) Begitupula dengan maraknya kekerasan dan tawuran. (Suara.Com, 2020)
Banyak penulis menilai bahwa di tengah perubahan sosial yang terjadi begitu cepat di era milenial, generasi muda kita juga seperti tengah kehilangan identitas atau jati dirinya sebagai anak bangsa yang semestinya beradab dan berbudaya. Jika krisis karakter ini begitu problematis di tengah generasi muda milenial yang kita miliki pada hari ini, dan mereka belum selesai dengan masalah mereka sendiri, bagaimana mungkin generasi muda kita diharapkan bisa diharapkan ikut andil dalam kerja-kerja produktif membangun bangsanya.
Perjuangan bangsa pada hari ini memang bukan seperti perjuangan untuk merdeka dari penjajahan seperti yang dilakukan oleh misalnya dr. Sutomo yang merintis organisasi pergerakan yang pertama, Budi Utomo. Atau, tentang cerita bagaimana para generasi muda pada masa dulu yang mengenalkan konsep persatuan dan kesatuan bangsa dengan digelarnya Sumpah Pemuda. Dan atau pula, seperti Sukarno yang bolak-balik penjara, mengalami masa pembuangan hanya untuk Indonesia Raya. Kini, rasa-rasanya pesimis bahwa generasi muda bisa menyatu dan melakukan kerja-kerja pembangunan, jika dalam kenyataannya mereka sendiri belum selesai dengan masalahnya sendiri.
Malah kesannya, banyak generasi muda di era milenial ini yang mencebur dalam kubangan apatisme, eskapisme dan hedonisme yang kesemuanya mengarah pada apa yang disebut”anti sosial.” Kerja-kerja pembangunan bangsa yang cukup penting dilakukan setelah Indonesia setelah Indonesia merdeka ini, tentu akan semakin sulit dikerjakan apabila generasi muda justru kesannya apatis, eskapis, dan hedonis. Terbayang bagaimana generasi muda saat ini malah sibuk dengan permasalahannya sendiri, dan malah menunjukkan tren krisis karakter.
Inilah yang menjadi fokus dari esai ini, yaitu mengapa di era milenial ini krisis karakter pada generasi muda bisa terjadi?, Esai ini berangkat dari analisa yang menggunakan logika struktural fungsional dalam mengurai akar penyebab terjadinya krisis karakter pada generasi muda di era milenial sehingga menghambat kerja-kerjanya dalam membangun bangsa. Setidaknya, dalam konteks melakukan refleksi Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia yang ke-75, yang perayaannya baru saja kita peringati kemarin.
Pentingnya Peran Generasi Muda
Telah disebutkan di atas, bagaimana di masa lampau misalnya dr. Sutomo telah berhasil merintis organisasi pergerakan yang pertama, Budi Utomo. Atau, tentang cerita bagaimana para generasi muda pada masa dulu yang mengenalkan konsep persatuan dan kesatuan bangsa dengan digelarnya Sumpah Pemuda. Dan atau pula, seperti Soekarno yang bolak-balik penjara, mengalami masa pembuangan hanya untuk Indonesia Raya.
Sehingga tidak berlebihan, jikalau Presiden pertama Republik Indonesia ini begitu menaruh kepercayaan pada generasi muda yang dipandangnya potensial dalam kerja-kerja perubahan sosial, termasuk pembangunan. Dalam sebuah pidatonya yang terkenal, Soekarno mengatakan: “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia.” (Soekarno, 1988)
Melihat sejarah bangsa ini, peran generasi muda jelas tidak boleh dikesampingkan, karena kenyataannya memang selalu tampil sebagai kekuatan yang penting dan menentukan. Mereka adalah kelompok sosial yang karena usianya yang produktif dan kualitas perkembangan intelektualnya yang positif, serta beridealisme tinggi, punya semangat mengabdi tanpa pamrih, dan rela berkorban demi kepentingan bangsa. Meskipun berasal dari latar belakang sosial, budaya, organisasi, dan bahkan ideologi yang berbeda, namun oleh karena persamaan nasib sebagai bangsa yang dijajah, mereka menyatukan diri sebagai satu bangsa dan dalam kesatuan itu mereka bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Upaya pembentukan bangsa Indonesia sebagai nation juga telah dirintis oleh para generasi muda di awal abad ke-20, yaitu dengan menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan rakyat Indonesia. Caranya, dengan melalui organisasi-organisasi pergerakan nasional yang mereka dirikan. Pada konteks ini, pergerakan nasional memang dianggap sebagai bentuk perjuangan untuk menghapus penjajahan, setelah cara konvensional dengan cara perjuangan bersenjata dipandang mereka mengalami kebuntuan. Sebagai kelompok terpelajar, para generasi muda ini belajar dari sejarah. Kegagalan perjuangan di masa lalu mereka anggap sebagai pelajaran berharga bagi rima perjuangan yang mereka lakukan.
Sebagaimana dimafhumi, Belanda berhasil menancapkan kekuasaannya dengan taktik divide et impera yang memecah belah. Maka untuk mengatasinya, para generasi muda merasa perlu menggalang persatuan dan kesatuan. Untuk itu, persatuan dan kesatuan yang mereka galang adalah dengan cara menyadarkan rakyat bahwa mereka itu memiliki persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah. Sebagai wadah, mereka gunakan organisasi yang mereka rintis dengan cara yang modern. Dengan cara demikian, kesadaran rakyat sebagai satu kesatuan negara-bangsa berangsur-angsur tumbuh. Seperti Haji Samanhudi yang mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905. Saat itu Haji Samanhudi masih berusia 27 tahun (lahir pada tahun 1878. Dr. Sutomo yang lahir pada 1988, baru berusia 20 tahun ketika dia mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara baru berusia 20 tahun ketika mendirikan Indische Partij pada tahun 1912 bersama-sama Douwes Dekker dan RM.Cipto Mangunkusumo. Begitupula Muhammad Hatta yang memimpin Perhimpunan Indonesia ketika usianya baru 21 tahun, dan saat menghadiri siding Liga Anti Kolonialisme di Paris pun usianya baru 23 tahun. KH. Agus Salim yang mulai dikenal kiprahnya di usianya yang baru 22 tahun. Atau Muhammad Yamin, yang berhasil merumuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang fenemonal di usianya yang baru 22 tahun. Muhammad Yamin juga diketahui telah aktif di Jong Sumatranen Bond pada usia 19 tahun. Begitupun generasi muda-generasi muda yang berada di belakang suksesnya Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, yaitu mereka-mereka yang tergabung dalam kelompok-kelompok terpelajar, kelompok PETA, dan lain sebagainya. Jelas pada konteks ini, pada sejarah menjemput kemerdekaan RI ada faktor peran generasi muda. (Djaja, 1951, p. 154) (Frederick & Soeroto, 1982, p. 421)
Bagaimana dengan generasi muda saat ini? Seperti disebutkan pada bagian pendahuluan, banyak generasi muda di era milenial ini yang mencebur dalam kubangan apatisme, eskapisme dan hedonisme yang kesemuanya mengarah pada apa yang disebut”anti sosial.” Padahal di masa membangun ini, generasi muda semestinya bisa menjadi motor perubahan dan bukannya menjadi sebab masalah.
Pentingnya Karakter Bagi Generasi Muda
Karakter yang dalam bahasa Inggris character, diduga berasal dari istilah Yunani yaitu charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam. (Echols & Shadily, 2006) (Bagus, 2005, p. 392) Karakter juga dapat berarti mengukir. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Maka dapat diasumsikan, karakter sebagai ciri khas seseorang yang mana tumbuh dan kembangnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya. Karakter terbentuk dalam lingkungan sosial budaya tertentu. (Kurniawan, 2013)
Sejalan dengan ini, Lorens Bagus (2005: 392) mendefinisikan karakter sebagai nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran. Atau menurutnya suatu kerangka kepribadian yang relatif mapan yang memungkinkan ciri-ciri semacam ini mewujudkan dirinya. (Bagus, 2005, p. 392) Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. (Suyanto, 2009)
Zubaedi memandang karakter sebagai paduan daripada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu itu berbeda dari yang lain. Karakter ini mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter menurut Zubaedi (2011: 10) meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. (Zubaedi, 2011, pp. 9-10)
Sejalan dengan ini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Departemen Pendidikan Nasional, 2011, p. 623). Berdasarkan definisi ini, karakter adalah nilai-nilai yang unik-baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil pola pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi, dan perasaannya. (Kurniawan, 2013)
Karakter seorang individu, termasuk generasi muda terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. Karakter ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang menempel pada seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak menyadari karakternya. Orang lain biasanya lebih mudah untuk menilai karakter seseorang. Pada konteks ini, kebiasaan seseorang dapat terbentuk dari tindakan yang dilakukan berlang-ulang setiap hari. Tindakan-tindakan tersebut pada awalnya disadari atau disengaja, tetapi karena begitu seringnya tindakan yang sama dilakukan, maka pada akhirnya sering kali kebiasaan tersebut menjadi refleks yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Seseorang melakukan tindakan karena dia menginginkan untuk melakukan tindakan tersebut. Dari keingingan yang terus menerus akhirnya apa yang diinginkan tersebut dilakukan. Timbulnya keinginan pada seseorang didorong oleh pemikiran atas sesuatu hal. Ada banyak hal yang bisa memicu pikiran yang informasinya datang dari panca inderanya. Misalnya, karena melihat sesuatu, maka seorang individu berpikir, karena mendengar sesuatu maka berpikir dan seterusnya. (Kurniawan, 2013) Dalam Islam, kata yang paling dekat dengan pengertian karakter, adalah akhlaq, yaitu “keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.” (Mustofa, 2012, pp. 11-12)
Banyak hasil penelitian yang juga membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan seorang individu. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard University, Amerika Serikat, yang ternyata kesuksesan individu tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan individu-individu tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter sangat urgen untuk ditingkatkan. (Zubaedi, 2011, p. 41) Begitupula seharusnya karakter ini penting bagi generasi muda, sehingga sangat penting diperhatikan pembentukannya oleh bidang pendidikan.
Sebab Generasi Muda Mengalami Krisis Karakter
Dalam logika struktural fungsional, masyarakat merupakan sebuah kesatuan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi satu bagian akan memiliki implikasi terjadinya ketidakseimbangan pada bagian-bagian yang lain. (Ritzer, 2012, p. 21) Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem di mana seluruh struktur sosialnya terintegrasi menjadi satu, yang masing-masingnya memiliki fungsi yang berbeda-beda, tetapi saling berkaitan, menciptakan konsensus dan keteraturan sosial serta keseluruhan elemen bisa saling beradaptasi; baik terhadap perubahan internal maupun eksternal di tengah-tengah masyarakat. (Ritzer & Goodman, 2007)
Asumsi dasar logika ini, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial juga berlaku fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jikalau tidak fungsional, maka struktur itu tidak akan berhasil mapan dan/ atau akan hilang dengan sendirinya di tengah-tengah masyarakat. Kaitannya dengan krisis karakter yang terjadi pada generasi muda di era milenial ini, sehingga perannya yang kontributif di tengah pandemi covid-19 ini kurang begitu terasa, itu karena sistem sosial di seputarnya kesannya disfungsional bagi pembentukan karakternya. Pada konteks ini, Talcott Parsons mengusulkan empat imperatif fungsional bagi sebuah sistem sosial, yang bisa kita gunakan untuk membaca sebab terjadinya krisis karakter yang dialami generasi muda di era milenial saat ini. Menurut Talcott Parsons, ada empat imperatif fungsional yang diperlukan bagi sebuah sistem sosial bisa fungsional di tengah-tengah masyarakat, yaitu: pertama, adaptasinya (adaptation); kedua, pencapaian tujuannya (goal attainment)l; ketiga, integrasinya (integration); dan keempat, pemeliharaan polanya (latency). (Ritzer, 2004, p. 256) Bagi Robert King Merton, keempatnya ini ada peluang mengalami disfungsi di tengah-tengah masyarakat, oleh karena dalam sebuah sistem sosial tidak hanya ada fungsi yang manifest tetapi pula ada yang laten. Yang laten inilah, yang dalam konteks ini perlu diperhatikan karena potensial menyebabkan terjadinya krisis karakter sebagaimana dialami generasi muda kita di era milenial ini. (Raho, 2007, pp. 63-66)
Menurut logika ini; pertama, krisis karakter terjadi karena sistem sosial kurang mampu mengatasi kebutuhan situasional yang muncul akibat perubahan sosial yang terjadi begitu cepat di era milenial pada semua lini, dan generasi muda tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya yang baru dan apalagi mengontrol pengaruh-pengaruh negatif yang kontraproduktif bagi pembentukan karakternya. Kedua, sistem pendidikan nasional yang sebenarnya telah sangat mendukung tujuan-tujuan pembentukan karakter, senyatanya gagal tercapai oleh karena kurang mampu terkondisikan di semua lingkungan sosial pendidikan di seputar generasi muda saat ini. Ketiga, kurang bersinerginya lingkungan-lingkungan sosial pendidikan dalam konteks pembentukan karakter. Keempat, sistem sosial kurang kondusif terhadap pola-pola yang mendukung terbentuknya karakter positif bagi generasi muda.
Berdasarkan logika struktural fungsional, jika sistem sosial kita diharapkan kondusif bagi terbentuknya karakter generasi muda, maka seharusnya: pertama, unsur-unsur sosial di tengah-tengah masyarakat, yang terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif mantab dan stabil dalam membangun karakter; kedua, elemen-elemen terstruktur dalam sistem sosial di tengah-tengah masyarakat bisa terintegrasi dengan baik sehingga kondusif dalam membangun karakter; ketiga, setiap elemen dan struktur mempunyai fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem sosial yang relevan dengan tujuan membangun karakter; dan keempat, setiap struktur yang diinginkan fungsional dalam membangun karakter tersebut dilandaskan pada adanya suatu konsensus nilai di antara para anggotanya. Ketika ini berhasil terpola dan relatif stabil, maka seharusnya krisis karakter tidak begitu masif terjadi pada generasi muda kita di era milenial ini.
Dampaknya pun begitu terasa. Karena krisis karakter ini pula, peran kontributif generasi muda yang diperlukan negara-bangsa dalam kerja-kerja membangun ini kurang begitu terasa. Di era milenial ini, generasi muda semestinya dalam kerja-kerja pembangunan semestinya bisa menjadi motor perubahan dan bukannya menjadi sebab masalah. Kiranya, hal ini bisa menjadi bahan reflesi dan evaluasi bagi sebuah bangsa yang usia kemerdekaannya bahkan tidak bisa disebut muda lagi.***
Penulis: Syamsul Kurniawan (Dosen Prodi PAI FTIK IAIN Pontianak, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga)
REFERENSI
Bagus, L. (2005). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Departemen Pendidikan Nasional. (2011). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djaja, T. (1951). Orang-Orang Besar di Tanah Air. Jakarta: KPPKRI.
Echols, J. M., & Shadily, H. (2006). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Frederick, W. H., & Soeroto, S. (1982). Pemahaman Sejarah Indonesia; Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Kurniawan, S. (2013). Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Implementasinya Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
LIPUTAN 6. (2019, Juli 19). Riset: 33 Persen Remaja Indonesia Lakukan Hubungan Seks Penetrasi Sebelum Nikah. Retrieved from Liputan 6: https://www.liputan6.com/health/read/4016841/riset-33-persen-remaja-indonesia-lakukan-hubungan-seks-penetrasi-sebelum-nikah#
Mustofa, H. A. (2012). Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
PUSLIDATIN. (2019, Agustus 12). Penggunaan Narkotika Kalangan Remaja Meningkat. Retrieved from Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia: https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/
Raho, B. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Ritzer, G. (2004). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, G. (2012). Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.
Soekarno. (1988). Warisilah api Sumpah Pemuda : kumpulan pidato Bung Karno dihadapan pemuda 1961-1964. Jakarta: Haji Masagung.
Suara.Com. (2020, Mei 2). Marak Tawuran Saat PSBB, Kriminolog: Corona Cuma Angka, Tradisi Jalan Terus. Retrieved from Suara.Com: https://www.suara.com/news/2020/05/02/124949/marak-tawuran-saat-psbb-kriminolog-corona-cuma-angka-tradisi-jalan-terus?page=all
Suyanto. (2009). Urgensi Pendidikan Karakter. Retrieved from Mandikdasmen Depdiknas: www.mandikdasmen.depdiknas.go.id.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.